Sabtu, 05 Juli 2014

Aku menemukan jawabannya

Aneh.
Dimana kau menyimpan perasaan-mu? Di kantong kemeja merah marun yang selalu kau lipat lengannya sampai siku itu? Di saku celana kain hitam-mu kah? Atau di dalam kepalamu yang selalu dikelilingi bayang-banyang optimisme masa depanmu yang cerah itu? em. Atau mungkin.. kau memang tak memilikinya.

Kau tau? Aku tidak mengerti apapun tentang pemikiranmu tentang garis keras kehidupanmu, apalagi perasaanmu. Memangnya seberapa jauh aku mengenalmu?

Kau tidak pernah membiarkanku berjalan beriringan denganmu. Kau selalu di belakang, dan aku di depan, kadang sebaliknya.
Kau juga tidak pernah membiarkanku duduk tepat berada di sampingmu. Pasti ada satu orang menghalangi. Atau kau yang lebih dulu menjaga jarak.
Kau juga tidak pernah tersenyum lepas untukku. Selalu ada alasan lain untuk itu.

Tak terhitung lagi.
Berapa kali aku mempertanyakanmu di hadapan Allah.

Baru beberapa hari ini aku menemukan jawabannya.

Oh ya, aku harus bercerita.

Ibuku. Ini kali pertama aku menceritakan masalah hatiku padanya. Kau tau? Aku sudah jatuh cinta berkali-kali. Baru kali ini aku luas mencurahkan isi hatiku padanya, tentangmu.
Kau tau apa jawabannya?

"Jangan terlalu berharap. Dia terlihat cuek. Tidak begitu meresponmu"
"Apa tidak ada lelaki lain? Lelaki yang dekat-dekat sini saja? Sama suku?"
"Ibu sama sekali tidak masalah. Perasaanmu kamu yang menentukan. Tapi, coba pikirkan lagi, dia bagaimana menanggapimu? Kalau tidak ada respon, sudahlah.. nggak usah"

Ah, ya, akhirnya aku menemukan jawabannya. Aku memang harus mendengarkanmu, bu. Aku akan.
Terlebih Allah banyak memberikanku kesempatan untuk lebih memantaskan diri. Jadi, urusan siapa kelak yang akan duduk disampingku mengikrarkan janji suci itu, itu urusan Allah. Aku hanya-harus memantaskan diri.

Aku merasa menang dan lebih tenang dengan jawaban ini.
Aku menerima kehadiran-Nya. Menyusupi tiap jengkal nikmat yang selama ini melekat di diriku.
Aku merasakan kehangatan-Nya. Dzat yang aku tidak pernah bisa bayangkan Maha Besar-Nya.
Aku merasa ditopang ketika berkeluh kesah dalam rukuk.
Aku merasa disayang ketika sujudku meneteskan air mata.
Aku benar-benar merasakan dzat-Nya, andai kalian tau.

Sejak itu aku merasa tidak perlu takut lagi menghadapi perasaanku sendiri.
Penting saat ini, menaruh harapan benar-benar pada tempatnya, yaitu Allah. Dia tidak akan membuat kita kecewa, bukan? Lain jika kita menaruh harapan kepada misalnya seorang lelaki yang kita gilai. Akhirnya kita akan kecewa dan menyalahkan Tuhan beserta takdir-Nya.

Aku menemukan jawabannya.
Semoga aku dapat berpegangan pada ini.

Aku mengutip kalimat seseorang kepada seseorang,
"Sampai bertemu, ditakdir Allah"
Aku sudah tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Hanya perlu melakukan perbuatan yang TEGAS.

0 komentar:

Posting Komentar