Senin, 14 Juli 2014
Formasi
14 Juli 2014
Apa yang penting? Tidak ada.
Oh ya, tidakkah kalian liat bintang yang terpasang pada
malam hari ini?
Begitu terpapar luar biasa indah tak dinyana-nyana.
Kemerlap, penuh kata-kata harapan, mimpi-mimpi dan—mungkin rindu yang menjelma
menjadi dingin.
Oh ya, tidakkah kau tersenyum ketika melihat bulan dengan
nyala sempurna malam ini?
Begitu bulat, terang benderang, cahyanya terpasang,
menyiratkan sinar yang menawarkan kata lain dari rindu—yaitu kehangatan. Ketahuilah
makna kehadiran sesuatu. Nikmati semesta, syukuri alangkah indahnya dunia.
Aku kadang hanyut dalam emosiku sendiri. Kekalutan yang
kubuat sendiri.
Aku kadang hanyut dalam emosiku sendiri. Kedamaian yang
kucipta sendiri.
Ada berapa wajah yang tersenyum karena memandangi langit
malam ini? Aku yakin, mereka-mereka itu orang yang mudah mencintai. Orang yang
selalu memakai hati untuk perasaanyang dalam—hanya untuk perasaan yang dalam.
Maafkan aku untuk wajah yang selalu aku sakiti, lewat
kata-kata, perilaku, emosi, kekecewaan yang aku lampiaskan.. sebenarnya semua
bukannya tidak beralasan.. ini murni caraku memproyeksikan diri.
Sulit ternyata mengatur perasaan,
Aku lanjur menaruhnya dalam kesungguhan.
Apa seharusnya aku mundur saja?
Bukan keluh yang mau aku suguhkan kepada wajah-wajah itu.
Bukan tanda akan menyerah yang mau aku persembahkan pada
wajah-wajah itu.
Bukan caci, maki yang mau aku limpahkan pada wajah-wajah
itu.
Bukan melucuti mereka dengan pecut supaya mereka berlari
lebih cepat.
Bukan kegagalan yang mau aku tunjukkan pada mereka.
Hanya—tanggung jawab kecil. Menjadi makhluk Tuhan yang
mengemban amanah di pundak.
Aku pernah menyesal untuk tidak menjadi orang baik. Setidaknya
aku telah menjadi sekarang—yang tak pernah mati dibuai masa lalu.
Berlindung dibawah ketiak malaikat yang selalu menghujaniku
dengan seribu doa tersemat.
Aku beruntung sekarang. Teramat sangat beruntung memiliki
kalian. Perasaan ini lah yang ingin aku tunjukkan kepada kalian.
Bukan kalian terpaksa memantaskan diri berdiri disampingku.
Bukan kalian tersulut emosi kecilku.
Hanya—aku yang seharusnya proporsional. Profesional.
Malam hari yang dingin bukan? Dan taukah? Ada berapa banyak
bintang yang terpasang?
Begitu banyaknya, tapi yang kulihat hanya sepuluh paling
terang.
Ini formasi apa?
Apapun lah.
Aku selalu merasa beruntung memiliki kalian.
Sabtu, 05 Juli 2014
Aku menemukan jawabannya
Aneh.
Dimana kau menyimpan perasaan-mu? Di kantong kemeja merah marun yang selalu kau lipat lengannya sampai siku itu? Di saku celana kain hitam-mu kah? Atau di dalam kepalamu yang selalu dikelilingi bayang-banyang optimisme masa depanmu yang cerah itu? em. Atau mungkin.. kau memang tak memilikinya.
Kau tau? Aku tidak mengerti apapun tentang pemikiranmu tentang garis keras kehidupanmu, apalagi perasaanmu. Memangnya seberapa jauh aku mengenalmu?
Kau tidak pernah membiarkanku berjalan beriringan denganmu. Kau selalu di belakang, dan aku di depan, kadang sebaliknya.
Kau juga tidak pernah membiarkanku duduk tepat berada di sampingmu. Pasti ada satu orang menghalangi. Atau kau yang lebih dulu menjaga jarak.
Kau juga tidak pernah tersenyum lepas untukku. Selalu ada alasan lain untuk itu.
Tak terhitung lagi.
Berapa kali aku mempertanyakanmu di hadapan Allah.
Baru beberapa hari ini aku menemukan jawabannya.
Oh ya, aku harus bercerita.
Ibuku. Ini kali pertama aku menceritakan masalah hatiku padanya. Kau tau? Aku sudah jatuh cinta berkali-kali. Baru kali ini aku luas mencurahkan isi hatiku padanya, tentangmu.
Kau tau apa jawabannya?
"Jangan terlalu berharap. Dia terlihat cuek. Tidak begitu meresponmu"
"Apa tidak ada lelaki lain? Lelaki yang dekat-dekat sini saja? Sama suku?"
"Ibu sama sekali tidak masalah. Perasaanmu kamu yang menentukan. Tapi, coba pikirkan lagi, dia bagaimana menanggapimu? Kalau tidak ada respon, sudahlah.. nggak usah"
Ah, ya, akhirnya aku menemukan jawabannya. Aku memang harus mendengarkanmu, bu. Aku akan.
Terlebih Allah banyak memberikanku kesempatan untuk lebih memantaskan diri. Jadi, urusan siapa kelak yang akan duduk disampingku mengikrarkan janji suci itu, itu urusan Allah. Aku hanya-harus memantaskan diri.
Aku merasa menang dan lebih tenang dengan jawaban ini.
Aku menerima kehadiran-Nya. Menyusupi tiap jengkal nikmat yang selama ini melekat di diriku.
Aku merasakan kehangatan-Nya. Dzat yang aku tidak pernah bisa bayangkan Maha Besar-Nya.
Aku merasa ditopang ketika berkeluh kesah dalam rukuk.
Aku merasa disayang ketika sujudku meneteskan air mata.
Aku benar-benar merasakan dzat-Nya, andai kalian tau.
Sejak itu aku merasa tidak perlu takut lagi menghadapi perasaanku sendiri.
Penting saat ini, menaruh harapan benar-benar pada tempatnya, yaitu Allah. Dia tidak akan membuat kita kecewa, bukan? Lain jika kita menaruh harapan kepada misalnya seorang lelaki yang kita gilai. Akhirnya kita akan kecewa dan menyalahkan Tuhan beserta takdir-Nya.
Aku menemukan jawabannya.
Semoga aku dapat berpegangan pada ini.
Aku mengutip kalimat seseorang kepada seseorang,
"Sampai bertemu, ditakdir Allah"
Aku sudah tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Hanya perlu melakukan perbuatan yang TEGAS.
Dimana kau menyimpan perasaan-mu? Di kantong kemeja merah marun yang selalu kau lipat lengannya sampai siku itu? Di saku celana kain hitam-mu kah? Atau di dalam kepalamu yang selalu dikelilingi bayang-banyang optimisme masa depanmu yang cerah itu? em. Atau mungkin.. kau memang tak memilikinya.
Kau tau? Aku tidak mengerti apapun tentang pemikiranmu tentang garis keras kehidupanmu, apalagi perasaanmu. Memangnya seberapa jauh aku mengenalmu?
Kau tidak pernah membiarkanku berjalan beriringan denganmu. Kau selalu di belakang, dan aku di depan, kadang sebaliknya.
Kau juga tidak pernah membiarkanku duduk tepat berada di sampingmu. Pasti ada satu orang menghalangi. Atau kau yang lebih dulu menjaga jarak.
Kau juga tidak pernah tersenyum lepas untukku. Selalu ada alasan lain untuk itu.
Tak terhitung lagi.
Berapa kali aku mempertanyakanmu di hadapan Allah.
Baru beberapa hari ini aku menemukan jawabannya.
Oh ya, aku harus bercerita.
Ibuku. Ini kali pertama aku menceritakan masalah hatiku padanya. Kau tau? Aku sudah jatuh cinta berkali-kali. Baru kali ini aku luas mencurahkan isi hatiku padanya, tentangmu.
Kau tau apa jawabannya?
"Jangan terlalu berharap. Dia terlihat cuek. Tidak begitu meresponmu"
"Apa tidak ada lelaki lain? Lelaki yang dekat-dekat sini saja? Sama suku?"
"Ibu sama sekali tidak masalah. Perasaanmu kamu yang menentukan. Tapi, coba pikirkan lagi, dia bagaimana menanggapimu? Kalau tidak ada respon, sudahlah.. nggak usah"
Ah, ya, akhirnya aku menemukan jawabannya. Aku memang harus mendengarkanmu, bu. Aku akan.
Terlebih Allah banyak memberikanku kesempatan untuk lebih memantaskan diri. Jadi, urusan siapa kelak yang akan duduk disampingku mengikrarkan janji suci itu, itu urusan Allah. Aku hanya-harus memantaskan diri.
Aku merasa menang dan lebih tenang dengan jawaban ini.
Aku menerima kehadiran-Nya. Menyusupi tiap jengkal nikmat yang selama ini melekat di diriku.
Aku merasakan kehangatan-Nya. Dzat yang aku tidak pernah bisa bayangkan Maha Besar-Nya.
Aku merasa ditopang ketika berkeluh kesah dalam rukuk.
Aku merasa disayang ketika sujudku meneteskan air mata.
Aku benar-benar merasakan dzat-Nya, andai kalian tau.
Sejak itu aku merasa tidak perlu takut lagi menghadapi perasaanku sendiri.
Penting saat ini, menaruh harapan benar-benar pada tempatnya, yaitu Allah. Dia tidak akan membuat kita kecewa, bukan? Lain jika kita menaruh harapan kepada misalnya seorang lelaki yang kita gilai. Akhirnya kita akan kecewa dan menyalahkan Tuhan beserta takdir-Nya.
Aku menemukan jawabannya.
Semoga aku dapat berpegangan pada ini.
Aku mengutip kalimat seseorang kepada seseorang,
"Sampai bertemu, ditakdir Allah"
Aku sudah tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Hanya perlu melakukan perbuatan yang TEGAS.
Langganan:
Postingan (Atom)