Kamis, 29 Januari 2015

Kisah Inspiratif: "Dibalik Klewer"


Beberapa hari yang lalu saya mendengarkan kisah miris dari kakak saya yang bekerja di sebuah perusahaan kredit mobil besar sebagai kasir setoran tunai. Masih ingat kejadian kecil (jika menurut anda kecil), terbakarnya Pasar Klewer? Ternyata ada tragedi yang memilukan dibalik peristiwa itu. Cerita ini didengar langsung dari para pedagang yang memiliki kios di Pasar Klewer dan menjadi korban kerugian yang sangat besar (mencapai angka 450 juta rupiah).

Malam hari, Pasar Klewer, pasar yang paling ramai dikunjungi, bahkan peredaran uang perhari rata-rata 250 juta rupiah, asar yang menjadi pusat tekstil terutama batik terkenal dan terbesar se-Asia Tenggara dilalap si Jago Merah (Jago Merah-Api besar, metafora yang sering muncul pada soal-soal bahasa Indonesia Sekolah Dasar). Peristiwa ini terjadi pada tahun baru 2015, dimana semua pedagang telah siap menaruh stok barang dagangan lebih banyak daripada hari biasa di kios-kiosnya.

Saat terjadi kebakaran, lalu lintas sekitar Pasar Klewer sangat padat. Mengingat di alun-alun kraton sedang ada Sekaten (pasar malam) yang dipenuhi banyak pengunjung, mobil-mobil memenuhi jalan, lalu lalang orang berjalan kaki turut membuncahi keramaian, mobil pemadam kebakaran yang dikerahkan untuk memadamkan api Pasar Klewer mengalami kesulitan karena terjebak macet. Ketika mobil pemadam itu tiba, api sudah sangat membesar dan menyebar, sebelum akhirnya jembatan penghubung antara gedung 1 dengan gedung 2 dihancurkan. Gedung 2 pun terselamatkan, naasnya, gedung 1 ludes terlalap ganasnya Jago Merah.

Sebelum terjadi kebakaran, penduduk sekitar melihat empat orang memasuki pasar tanpa dihadang oleh satpam yang bertugas. Selang beberapa menit, pasar terbakar. Hal ganjil ini membuat penduduk sekitar dan pedagang membentuk prasangka buruk. Mengingat, beberapa tahun silam, peristiwa yang sama terjadi di Pasar “P”, konon pasar itu dibakar karena para pedagang tidak menerima kesepakatan antara pemerintah dengan pedagang. Sebelumnya para pedagang di Pasar Klewer mengaku, menolak instruksi pemerintah untuk merekonstruksi bangunan pasar yang sudah lama berdiri itu. Awalnya para pedagang juga mengalami ketakutan kalau-kalau mereka akan bernasib sama seperti peristiwa yang terjadi di Pasar “P”. Namun mengingat ramainya penjualan ketika musim liburan awal tahun ini menepis ketakutan para pedagang. Sayang, ketakutan itu malah menjadi kenyataan.

“Orang-orang bilang saya berdiri di depan kios saya tiga hari tidak beranjak, tidak makan, bahkan tidak minum, bergerakpun tidak. Saya sudah dipanggil-panggil orang-orang buat disuruh pulang, tapi katanya saya tidak merespon apapun. Bahkan kalau saat itu ada orang yang mengiris urat nadi saya, mungkin tidak akan berasa sakitnya. Saya seperti patung. Baru setelah tiga hari berlalu saya pulang ke rumah dengan sendirinya. Mandi. Kemudian teringat utang saya di sini (perusahaan kredit mobil), lalu saya ke sini, tempat ini lah yang pertama saya kunjungi setelah sadar”. Ungkapan panjang salah seorang pedagang yang mengisahkan ceritanya kepada kakak saya yang bekerja sebagai kasir di perusahaan tersebut.

Para pedagang melarang para istri untuk menengok kios mereka. Bisa dibayangkan suasana yang pecah karena suara tangisan jika para istri melihat betapa malangnya nasib barang dagangan mereka ketika menjadi sisa-sisa kebakaran.

Pasar sementara yang dibuat pemerintah sebagai solusi peristiwa tersebut ternyata nihil. Tidak memiliki dampak menyembuhkan, melainkan malah menoreh luka yang semakin dalam para pedagang. Para pedagang harus membayar sewa sebesar 2 juta rupiah tiap bulan untuk sewa kios, belum lagi kios yang disebut pasar sementara itu ternyata hanya berupa petak-petak. Kebanyakan pedagang memilih melanjutkan kehidupan dengan memandang ke depan. Mereka sudah tidak bisa lagi merenggut masa lalu. Mereka berjualan dengan mobil pick-up di pinggiran alun-alun kraton dengan biaya parkir kendaraan mencapai 25 ribu rupiah per harinya.

“Sama dengan membunuh orang kecil. Sudah ditindas, diinjak-injak. Ya nggak ada yang mau lah nyewa pasar sementara 2 juta per bulan. Ini aja dagang pakai mobil pick-up kita disuruh bayar parkir 25 ribu rupiah per hari. Padahal bantuan dari pusat angkanya banyak, belum lagi sumbangan dari donatur dan bank-bank. Entah dikemanakan uang itu. Yang jelas kami tidak merasakan dampaknya sama sekali. Padahal kami juga harus ngasih upah untuk pegawai, bayar bensin, bayar sekolah”, lanjut salah seroang pedagang menuturkan keluh kesahnya di perusahaan kredit mobil tersebut.

“Saya jual mobil Terrios saya, mungkin harganya sekitar 250 juta rupiah. Bisa buat modal awal lagi. Saya bilang ke istri saya, daripada meratapi masa lalu kita tidak akan maju-maju. Jual mobil saja buat modal awal. Kita buka lapak kayak dulu. Dirumah masih ada stok yang lumayan, bisa nambah modal. Nanti jualnya pakai mobil pick-up kayak orang-orang. Sedikit-sedikit untungnya dikumpulkan lagi. Nanti juga jadi banyak. Kita harus pilih mau maju apa nangisin masa lalu. Mau bangun usaha lagi apa terpuruk. Kita yang menentukan” Ucap salah seorang pedagang dengan penuh tanda-tanda ketegaran.

Luar biasa kisah dibalik terbakarnya Pasar Klewer. Mereka yang diberi ujian ternyata bukan orang-orang yang memiliki nyali biasa saja. Mereka luar biasa. Mereka mampu bangkit setelah jatuh tersungkur terinjak-injak penguasa. Mereka pedagang yang pasti akan sukses di masa depan! Motivasi terbesar mereka adalah keluarga. Mereka harus memulai usaha tanpa bergantung pada kaki para penguasa yang tidak memiliki nurani. Mereka harus bernegoisasi dengan waktu dan kesempatan baru untuk mulai menjalani bisnis baru, dari titik minus. Kalian adalah inspirator sederhana yang membuat saya sebagai pemuda terbakar kembali semangatnya untuk melakukan pembaharuan. Semangat perubahan! Untuk Indonesia yang berdikari, tak bersembunyi di balik kaki penguasa tahta. [Pipit Septiani]

0 komentar:

Posting Komentar