Beberapa hari yang lalu
saya mendengarkan kisah miris dari kakak saya yang bekerja di sebuah perusahaan
kredit mobil besar sebagai kasir setoran tunai. Masih ingat kejadian kecil (jika
menurut anda kecil), terbakarnya Pasar Klewer? Ternyata ada tragedi yang
memilukan dibalik peristiwa itu. Cerita ini didengar langsung dari para
pedagang yang memiliki kios di Pasar Klewer dan menjadi korban kerugian yang
sangat besar (mencapai angka 450 juta rupiah).
Malam hari, Pasar
Klewer, pasar yang paling ramai dikunjungi, bahkan peredaran uang perhari
rata-rata 250 juta rupiah, asar yang menjadi pusat tekstil terutama batik
terkenal dan terbesar se-Asia Tenggara dilalap si Jago Merah (Jago Merah-Api
besar, metafora yang sering muncul pada soal-soal bahasa Indonesia Sekolah
Dasar). Peristiwa ini terjadi pada tahun baru 2015, dimana semua pedagang telah
siap menaruh stok barang dagangan lebih banyak daripada hari biasa di
kios-kiosnya.
Saat terjadi kebakaran,
lalu lintas sekitar Pasar Klewer sangat padat. Mengingat di alun-alun kraton
sedang ada Sekaten (pasar malam) yang dipenuhi banyak pengunjung, mobil-mobil
memenuhi jalan, lalu lalang orang berjalan kaki turut membuncahi keramaian,
mobil pemadam kebakaran yang dikerahkan untuk memadamkan api Pasar Klewer
mengalami kesulitan karena terjebak macet. Ketika mobil pemadam itu tiba, api
sudah sangat membesar dan menyebar, sebelum akhirnya jembatan penghubung antara
gedung 1 dengan gedung 2 dihancurkan. Gedung 2 pun terselamatkan, naasnya,
gedung 1 ludes terlalap ganasnya Jago Merah.
Sebelum terjadi
kebakaran, penduduk sekitar melihat empat orang memasuki pasar tanpa dihadang
oleh satpam yang bertugas. Selang beberapa menit, pasar terbakar. Hal ganjil
ini membuat penduduk sekitar dan pedagang membentuk prasangka buruk. Mengingat,
beberapa tahun silam, peristiwa yang sama terjadi di Pasar “P”, konon pasar itu
dibakar karena para pedagang tidak menerima kesepakatan antara pemerintah
dengan pedagang. Sebelumnya para pedagang di Pasar Klewer mengaku, menolak
instruksi pemerintah untuk merekonstruksi bangunan pasar yang sudah lama
berdiri itu. Awalnya para pedagang juga mengalami ketakutan kalau-kalau mereka
akan bernasib sama seperti peristiwa yang terjadi di Pasar “P”. Namun mengingat
ramainya penjualan ketika musim liburan awal tahun ini menepis ketakutan para
pedagang. Sayang, ketakutan itu malah menjadi kenyataan.
“Orang-orang bilang
saya berdiri di depan kios saya tiga hari tidak beranjak, tidak makan, bahkan
tidak minum, bergerakpun tidak. Saya sudah dipanggil-panggil orang-orang buat
disuruh pulang, tapi katanya saya tidak merespon apapun. Bahkan kalau saat itu ada orang yang mengiris urat nadi saya, mungkin
tidak akan berasa sakitnya. Saya seperti patung. Baru setelah tiga hari
berlalu saya pulang ke rumah dengan sendirinya. Mandi. Kemudian teringat utang
saya di sini (perusahaan kredit mobil), lalu saya ke sini, tempat ini lah yang
pertama saya kunjungi setelah sadar”. Ungkapan panjang salah seorang pedagang
yang mengisahkan ceritanya kepada kakak saya yang bekerja sebagai kasir di
perusahaan tersebut.
Para pedagang melarang
para istri untuk menengok kios mereka. Bisa dibayangkan suasana yang pecah
karena suara tangisan jika para istri melihat betapa malangnya nasib barang
dagangan mereka ketika menjadi sisa-sisa kebakaran.
Pasar sementara yang
dibuat pemerintah sebagai solusi peristiwa tersebut ternyata nihil. Tidak
memiliki dampak menyembuhkan, melainkan malah menoreh luka yang semakin dalam
para pedagang. Para pedagang harus membayar sewa sebesar 2 juta rupiah tiap
bulan untuk sewa kios, belum lagi kios yang disebut pasar sementara itu
ternyata hanya berupa petak-petak. Kebanyakan pedagang memilih melanjutkan
kehidupan dengan memandang ke depan. Mereka sudah tidak bisa lagi merenggut
masa lalu. Mereka berjualan dengan mobil pick-up di pinggiran alun-alun kraton
dengan biaya parkir kendaraan mencapai 25 ribu rupiah per harinya.
“Sama dengan membunuh
orang kecil. Sudah ditindas, diinjak-injak. Ya nggak ada yang mau lah nyewa
pasar sementara 2 juta per bulan. Ini aja dagang
pakai mobil pick-up kita disuruh bayar parkir 25 ribu rupiah per hari. Padahal
bantuan dari pusat angkanya banyak, belum lagi sumbangan dari donatur dan
bank-bank. Entah dikemanakan uang itu. Yang jelas kami tidak merasakan
dampaknya sama sekali. Padahal kami juga harus ngasih upah untuk pegawai, bayar
bensin, bayar sekolah”, lanjut salah seroang pedagang menuturkan keluh kesahnya
di perusahaan kredit mobil tersebut.
“Saya jual mobil Terrios saya, mungkin
harganya sekitar 250 juta rupiah. Bisa buat modal awal lagi. Saya bilang ke
istri saya, daripada meratapi masa lalu kita tidak akan maju-maju. Jual mobil
saja buat modal awal. Kita buka lapak kayak dulu. Dirumah masih ada stok yang
lumayan, bisa nambah modal. Nanti jualnya pakai mobil pick-up kayak
orang-orang. Sedikit-sedikit untungnya dikumpulkan lagi. Nanti juga jadi
banyak. Kita harus pilih mau maju apa nangisin masa lalu. Mau bangun usaha lagi
apa terpuruk. Kita yang menentukan” Ucap salah seorang pedagang dengan penuh
tanda-tanda ketegaran.
Luar biasa kisah
dibalik terbakarnya Pasar Klewer. Mereka yang diberi ujian ternyata bukan
orang-orang yang memiliki nyali biasa saja. Mereka luar biasa. Mereka mampu
bangkit setelah jatuh tersungkur terinjak-injak penguasa. Mereka pedagang yang
pasti akan sukses di masa depan! Motivasi terbesar mereka adalah keluarga.
Mereka harus memulai usaha tanpa bergantung pada kaki para penguasa yang tidak
memiliki nurani. Mereka harus bernegoisasi dengan waktu dan kesempatan baru
untuk mulai menjalani bisnis baru, dari titik minus. Kalian adalah inspirator
sederhana yang membuat saya sebagai pemuda terbakar kembali semangatnya untuk
melakukan pembaharuan. Semangat perubahan! Untuk Indonesia yang berdikari, tak
bersembunyi di balik kaki penguasa tahta. [Pipit Septiani]
0 komentar:
Posting Komentar