Selasa, 19 Mei 2015

Ambigu



Bangun.

Setiap embun yang mengudara, perlahan hilang.

Setiap titik es yang terbawa angin, pasti mencair.

Bertengkar dengan kerumunan kebingungan lalu bingung saat kehendak dihadang oleh ketidaktahuan. Percaya atau tidak, bukan tubuhmu memang yang berada di sini tapi seluruh otakku seolah diprogram untuk selalu membahasakanmu dalam bahasa yang tidak mudah dipahami.

Kilasan cahaya dibalik mendung ibarat harapan-harapan kecil yang selalu menyanjung. Seperti badan ini kurang tidur namun mata meminta untuk tetap terjaga. Seperti kepala telah pusing namun hati meminta untuk selalu merasa. Bagi yang terkenang sepertiku mungkin anggapan bahwa mutiara hilang karena nilai jualnya pasti salah. Mutiara hilang karena sihir keindahannya.

Terlalu menuruti kerja rodi otak dan hati yang kadang saling tarik ulur, pecah dan berdebat mungkin akan membunuh perlahan. Dan lakumu  yang diam-diam melukai membuatku cemburu dan terus saja merindu.

Aku pernah melihat matamu serupa dengan pelangi yang pernah menampakkan keindahannya dihadapan mata kita

Aku pernah melihat senyummu serupa dengan mimik pesisir saat batu memecah ombak yang ganas menghantam karena terprovokasi oleh angin

Aku pernah melihat punggungmu menjauh serupa dengan cahaya bulan yang tertutup remang lambat laun kemudian hilang karena ditelan gerhana

Waktu serasa lebih dari 24 jam perhari, serasa lebih dari tujuh hari perminggu, serasa lebih dari empat minggu perbulan, serasa lebih dan lebih ketika rasamu menghujam palung jiwaku terdalam. 

Aku ketagihan rasa. Ketagihan merindu, ketagihan cemburu. Ketagihan sakit. Caramu untuk menelaah ribuan pertanda yang telah lebih dulu aku cipta.

Bagaimana bisa jalannya akan seterjal ini. Bagaimana bisa lukanya akan selama ini.
Kukata-katai langit-langit Bumi. Dasar mereka sangat tega sekali mencipta suasana syahdu untuk kebanyakan jiwa yang tersiksa karena rindu.

Mendekap. Saat itu aku dengan senyum murung benda-benda terpasang yang bertebaran bak kristal air yang membeku. Dingin. Dan kau tak akan pernah tau rasanya.
Cukup miring. Sendiri dan tak beralas. Tak punya alasan.


0 komentar:

Posting Komentar