Stars

Bintang adalah nama lain dari keindahan. Bagi siapa yang menguping pada angin yang berbisik takdir kepada sang langit, maka ia akan tahu rahasia besar bintang. Sebagai obat rindu.

Moon

Bulan adalah lambang kesetiaan. Sama seperti bintang ketika mengitari. Ia tak pernah ingkar janji dan akan selalu beredar. Sayang, kadang remang, kadang bersinar terang sekali. Kadang bulat utuh, kadang sabit sekali. Waktu adalah nyali keutuhan. Dimana dia berlindung, disana rahasia hati mengitari.

Rain

Hujan adalah rahasia besar. Tidak ada yang tahu kapan akan tiba dan kapan akan berhenti. Apakah datangya mengundang gemuruh langit atau hanya menyusuri lembut kulit. Tapi kesakitan hujan dapat membuat rindu menyeruak. Tak akan ada yang bisa menolongmu. Selain naungan tinggi dari Sang Maha.

Metamorfose

Kita adalah hasil dari metamorfose. Hanya kita yang tahu, siapa dan apa saja yang terlibat dalam proses pendewasaan diri kita masing-masing. Bagian dari Rahasia.

Ocean

Tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam sana. Entah arus yang mematikan atau ikan-ikan menakjubkan yang tenang berenang.

Senin, 22 September 2014

Halaman Bersembunyi




Sudut

Garis tak terabai dan tak tergapai.
Jemari menyentuh lutut bibir seraya berkomat kamit. Ada apa lagi dalam sorot matamu yang dalam itu, selain ketidaktahuanku?

Sudut

Tanpa ada sepasang mata yang tahu. Biasanya aku kan di lantai paling atas. Kini aku mengabai, dan meletakkan kegusaran di sudut.
Tempat dimana banyak orang tidak tahu, mencari-cari sesuatu untuk ditemu.

Sayangnya disini hanya ada aku. Bukan kamu yang brutal dengan prinsipmu. Bukan mereka yang mengerti bahasa tubuhku, bukan pula dia yang pernah tenggelam dan kupaksa muncul dari kenangan.

Kalau saja aku lebih bisa diukur dengan ilmu, mungkin nilaiku setara dengan ratusan buku di ruangan ini. Memenuhi, berulang kali terabaikan, berulang kali dipertanyakan letakknya, dan berulang kali ditelusur. Tapi tak mudah ditemui, seperti buku-buku di perpustakaan ini.

Aku mengintip dari balik pesona tinta dan mereka yang menjatuhiku dengan isi. Aku tertarik karena banyak yang meminta bukan berarti aku selalu penuh harap karna yang menuliskanku bukan mereka yang selalu berilmu akan tetapi mereka yang selalu memberitahukanku sesuatu, mereka yang tak pernah diam melihat polahku. Mereka yang selalu ingin aku ditemukan, dengan segera.

Seperti catatan tipis dalam sela rak paling susah dijangkau mata, diraih tangan. Seperti kelabu yang menolak menjadi hitam, sekalipun putih adalah pilihan yang tak terbantahkan.

Menelaah tepi-tepi sampul, berharap aku menemukan judul sesuai dengan permintaan hati.
Banyak buku yang berteriak dan berbicara dari hati-ke hati. Mereka meminta untuk ku ambil. Akan tetapi curiga dan perasaan tak tenang melingkupi dasar jiwa dan anehnya aku mulai tak tahu harus memberi ketegasan macam apa. Aku kan takluk kalau aku tidak punya paduan.

Berhenti di titik ini. Mulailah mencari meski harus berulang kali menari dalam kehawairan yang kumiliki sendiri. Aku bukan makhluk sesempurna nabi, bukan pula makhluk sekecil semut. Aku bernabi dan aku berpandu pada tulisan yang telah disuratkan, aku tinggal tahu kapan akan menuju tangga kelangit. Bukan dengan buku-buku yang kutelan. Dengan halaman-halaman yang tercecer saking banyaknya orang yang memperebutkan sehingga buku itu mulai, rusak.


Minggu, 21 September 2014

Angin, Jalanan Malam, Lampu Kendaraan dan Lampu Kota Jogja





Berguru pada langit dan musim-musim kering jaman dulu. Kelak akan aku bertahu, kenapa mimik wajah yang rindu bisa menyimpan sejuta rahasia. Buat apa aku kembali kepada kenyamanan disana, jika yang aku lihat hanyalah nada-nada meninggi dan saling meneriaki. Buat apa?

Buat apa aku menjadi tulang jika yang dikehendaki Tuhan aku menjadi gelas kaca yang siap mereka pecahkan untuk melukai satu sama lain. Bisik-bisik menertawakanku dalam diam, aku sakit tak menghiraukan kata-kata Tuhan. Sebenarnya apa yang dunia inginkan? Segelas tawa? Secangkir kopi pahit? Secarik kemurkaan? Segenggam keabadian? Bias-bias senja tak lagi mengiringiku dalam bahagia. Bukan berarti aku orang yang tidak bahagia, hanya saja tabu memikirkan apa yang akan aku alami selanjutnya tanpa berbuat apa-apa. Aku terlalu sering mengigau dan mengagumi mimpi sampai aku lupa pada bayang-bayang yang kuinjak sendirian.

Jika kau letakkan di bawah, maka tempat orang adalah kesakitanmu. Jika kau letakkan di atas, maka tempat orang adalah kebahagiaanmu. Jika satu tambah satu samadengan dua, aku pernah membiarkannya beranak-pinak menjadi jawaban-jawaban indah lainnya. Otakku tidak berhenti di kata-kata yang jelas, dia hanya membantu mengeluarkan isi hati yang tidak karuan bentuknya ini. Demi sebuah pertanyaan kenapa.

Mendung sekali langit malam ini. Meskipun gelap, toh aku masih bisa merasakannya juga. Sama seperti Tuhan. Meskipun tak terlihat, toh aku masih bisa merasakan-Nya juga.
Sesekali aku menengok langit. Tapi tak ada yang lebih berarti daripada membayangkan wajahmu tenggelam di sana bersama kumpulan bintang-bintang yang berbinar. Oh Tuhan, September hendak berakhir tapi aku masih belum juga bisa melihat kunang-kunang yang ku kagumi.

Jalanan malam. Jalanan malam yang kubenci.
Aku seperti cacing yang kepanasan. Ini rindu atau ini benci. Aku cemburu dan aku perasa. Segalanya berbaur dan aku menyelami perasaan melalui syair yang aku teriakkan penuh-penuh dalam emosi saat berkendara membelah jalanan malam kota Jogja. Aku pusing memikirkan pertanyaan kenapa. Kenapa kenapa kenapa dan kenapa. Kenapa?

Aku senang melihat wajah mereka. Alasanku maju atau mati tak sempurna. Alasanku melaju atau diam tak berdaya. Aku senang mencium kedua tangan mereka, mengucapkan salam dan saling mendoakan satu sama lain. Aku anak dan mereka orang tua. Aku sayang dan mereka menyayangi. 

Aku betah dan mereka curiga aku lebih menyayangi mereka daripada diriku sendiri.
Biar malam tetap penuh cahaya.
Mana ada hal yang perlu ditakuti lagi? Mereka di sana bukannya selalu mendoakan yang terbaik?

Bisakan bicara tentang hal lain saja? Misalnya tentang pertanyaan kenapa itu tadi.
Kenapa?



Kuberitahukan sesuatu, banyak hal menuntuk untuk mengerti tapi banyak hal semakin membuat kita untuk mengerti. Tau kan? Alam kan selalu tak sejalan dengan pemikiran kita. Dan bukannya terang, gang panjang menuju tempat keluar semakin gelap saja.


Aku galau.


Pertanyaanku tak terjawab dan aku harus lebih sabar menunggu waktu?

Padahal waktu yang ditunggu semakin jauh meninggalkan.

Apa aku terlalu meninggi hingga harus selalu merendah dihadapan kekalutan?

Apa aku terlalu rendah hingga harus meninggi ketika bertemu kenyataan?

Sekarang tiba-tiba terlintas pemikiran konyol yang menelanjangi akal untuk mengatakan hal yang pertama kali aku pendam dalam kepada dia yang tak pernah mengerti asal usul perasaan ini, kenapa ada.

Apakah engkau yang ditunjuk Tuhan untuk merubah kondisi ini? ketakutanku?
Aku Jawa, aku begini dan aku seperti ini. Apa masuk akan jika engkau menaruh perasaan yang sama?
Jika saja bisa ingin aku muntahkan perasaan ini menjadi bentuk kasat mata. Dan kutunjukkan kepadamu betapa tidak berbentuknya hati, lidah dan pikiranku ketika mereka bertemu dan berbenturan dengan nama.....




Namamu. 

Jumat, 19 September 2014

Pemuda Mengakar


Gambar: kampusnews.com


 “....dalam hidup kita, semua datang sendirian dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar malam, di mana kita datang dan pergi bersama-sama....”-Pramoedya (dalam Bukan Pasar Malam).

Buruh Tani mahasiswa rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa Orba
Marilah kawan mari kita tunjukkan
Ditangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu, tentang pembebasan
Dibawah tanah tirani, kulukiskan garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi, bagiku satu langkah pasti
(“Buruh Tani”)

Sepenggal lagu yang siapa saja yang mengaku pemuda akan meninggalkan jejak kegalauan yang mendalam ketika mendengarkannya pun mengalunkannya. Sepenggal lagu yang siapa saja yang mengaku pemuda akan mencipta garis sesegera mungkin untuk memimpin ketertinggalan, mengeluarkan rakyat dalam kesengsaraan. Perih begitu melihat badan asing menginjak-injak kehormatan bangsa dengan memprovokasi pemuda sebagai alat kuasa.

Jauh di atas langit biru yang membentang, telah banyak tanda-tanda bahwa pemuda tertulis disana sebagai tongkat sakti dunia. Getar dan tegapnya dipertanyakan melalui gerakan-gerakan sederhana yang memberikan hasil yang luar biasa. Engkau sentil debu, engkau rubuhkan benteng. Engkau bersihkan kursi, engkau bernyenyak-nyenyak ria di atas kursi parlemen. Tidak ada hal muluk lain yang harus dikhawatirkan karna engkau adalah pembentuk kualitas hidup di dunia yang mengidamkan kebahagiaan yang sejati.

Penulis memang kadang irasional. Tidak menggunakan logika dalam menjelaskan sesuatu. Mereka terkesan asal-asalan, yang penting ngomong, caturan dan terlalu banyak bicara. Tapi tahukan bahwa kebanyakan oleh apa yang mereka tulis adalah apa yang mereka alami dan rasakan.
Gerakan memang tak semudah membalikkan badan. Kita bukan beruang yang mengalami hibernasi di musim dingin sehingga nama gerak kita dinamai gerak musiman. Kita bukan juga si cebol yang merindukan bulan. Kita tak pernah berharap kepada hal muluk akan tetapi memiliki keyakinan kepada cita-cita bangsa yang tinggi demi tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis memang bisanya caturan. Memikirkan hal-hal yang tinggi lalu menerbangkan impian, menghamburkannya melalui udara. Tapi asal tau, hasil tulisan adalah apa yang kita serap, alami dan rasakan. Tidak ada omong kosong yang sengaja kami tuang untuk provokasi.

Hijau sudah tidak nampak lagi di Bumi Indonesia.
Ladang yang mulanya nampak segar dijelajahi mata karena air sungainya mengalir sangat deras dan bening berganti dengan tanah coklat yang kering renyah diinjak semut-semut ahli berpetualang.
Hingar bingar kota, lampu pijar gedung-gedung pencakar langit menghiasi layaknya bintang-bintang kota yang menggantikan angkasa. Ribuan anak jalanan memacu keterlibatannya terhadap waktu dan batasan antara hidup dan mati. Ribuan orang tua mati nelangsa memikirkan anak cucu yang kurang ajar membagi waktu berharga mereka untuk narkoba, rokok, hura-hura, berfoya, nakal dan melakukan tindak kejahatan dalam bentuk apapun. Merusak citra. Merusak susu.

Mereka-mereka yang menantang munculnya kebenaran datang bersama dusta dan mengatasnamakan pemimpin sebagai hal layak untuk disalah-salahkan. Saling tunjuk siapa monyet binaan para penguasa. Siapa protokolir yang menggerakkan masa untuk isu yang murahan dan menghancurkan harkat martabat bangsa.

Ketika segala telah dihamparan mata. Nyata menyala-nyala, ketika itu..
Kemana para muda? Para pemuda?
Apa mereka sedang pergi belanja di pusat perbelanjaan paling besar dikota, membeli label asing untuk mereka kenakan sebagai mahkota, sebagai irisan kain penutup badan paling minim bahan dan mahal harga?
Apa mereka sedang menusuk bola billiyard untuk mereka jatuhkan di lubang meja panjang yang hitam kelam?
Apa mereka sedang mengagumi wanita-wanita tengah malam dan membeli mereka dengan beberapa botol anggur paling mahal?
Apa mereka pernah merasakan kelezatan ketela pohon yang direbus empuk sebagai santap malam paling istimewa?
Apa mereka pernah merasakan kasarnya telapak tangan ayah dan ibu mereka yang habis-habisan mencari uang untuk sekedar makan tiga kali sehari, untuk sekedar membayar uang sekolah yang makin lama makin mahal ini?


Tidak baik menuduh mangsa. Aku berbicara dengan diri sendiri. Jadi tidak usah ada yang tersinggung. 

Kamis, 18 September 2014

Mereka Jawa




Mereka-mereka adalah orang yang mengetahui dan bisa mengekspresikan kehidupan, mereka adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan yang mengetahui bahwa semua itu punya satu makna, dan hal itu sangat penting untuk memahami kehidupan pribadi seseorang. Mereka-mereka itulah orang-orang yang sering disebut dengan orang “Kejawen”.

Kebanyakan orang Jawa kental dengan mistisisme. Orang Jawa meyakini apa yang mereka alami di dunia ini adalah akibat dari hubungan alam dengan Tuhan. Orang yang bisa merasakan pertanda-pertanda dari alam hanyalah orang yang mau mempertajam hati untuk olah rasa, biasa disebut dengan kebatinan kejawen.

Orang Jawa terkenal dengan penalaran mistiknya, baik yang berupa primbon dan juga pitungan. Dalam cerita-cerita mitologi wayang terdapat falsafah hidup yang dalam, kebanyakan orang jawa menjalani masa sekarang berdasarkan pelajaran dari sejarah dalam cerita pewayangan, misalnya “Mahabarata”, “Bhagawat Giza”, Karno Gugur”, dan “Semar Boyong”.

Orang Jawa memegang teguh filsafat, “Jika manusia adalah sebab utama bagi kondisinya, maka moral dan perilaku spiritualnya harus diperhatikan”.

Dalam filsafat Jawa, ada tiga ungkapan penting yang harus dipegang teguh:
1.       Rame ing Gawe, mempunyai arti, melakukan perbuatan baik untuk kemaslahaan semua orang. Tidak ada orang yang dapat berdiri sendiri. Asas Gotong Royong. Filsafat ini terdapat dalam nilai Ekaprasetia Pancakarsa, alias Pancasila. Orang Jawa suka berkelompok, melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama dan menanggung penderitaan bersama-sama. Tradisi slametan, kenduri dan tahlilan, misalnya.
2.       Mamayu Hayuning Bawono,  mempunyai arti, menghiasi dunia. Manusia hidup tidak hanya sekedar mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri, akan tetapi peduli kepada kebahagiaan orang lain. Mereka memberi tanpa harap menerima. Bekerja giat dan memiliki etos kerja yang tinggi. Orang Jawa mempunyai jiwa pemimpin yang tangguh dan unggul. Meskipun tegas, kebanyakan orang Jawa adalah sosok yang lembut dan selalu menjaga perasaan orang-orang disekitarnya.
3.       Sepi ing Pamrih, memiliki arti, tidak mementingkan diri sendiri.
Poin pertamanya adalah RELA. Orang Jawa mudah sekali merelakan bahkan hal yang menyakitkan sekalipun. Mudah dikecewakan akan tetapi tidak mudah menaruh dendam.
Poin keduanya adalah MENERIMA. Kebiasaan saling memberi dan toleransi yang tinggi kepada orang lain adalah prinsip yang dipegang teguh masyarakat Jawa. Mereka senang sekali ketika bisa memberikan buah kepedulian kepada tetangga dekat, kerabat dan sanak saudaranya.
Poin ketiga, SELALU INGAT. Masyarakat Jawa susah sekali melupakan kebaikan orang lain. Mereka akan selalu mengingat dan membalasnya dengan kebaikan juga.
Poin keempat, RENDAH HATI. Masyarakat Jawa tidak suka menonjolkan kekayaannya. Sikap rendah hati adalah hal yang utama demi mencapai kehidupan yang rukun antar tetangga dan masyarakat.
Poin kelima, BERSAHAJA. Masyarakat Jawa menjunjung tinggi rasa gensi, malu dan subasita (aturan perilaku). Masyarakat Jawa memiliki sikap “alon-alon waton kelakon”. Bertindak tanpa terburu-terburu, akan tetapi menyelesaikan tugas dengan baik.
Poin keenam, PRIHATIN. Masyarakat Jawa memandang orang kaya bukan orang yang memiliki uang banyak lalu dihambur-hamburkan, akan tetapi orang kaya adalah orang yang pandai bersyukur dan mampu mengendalikan nafsunya untuk bersikap konsumtif.

Menurut masyarakat Jawa, Conscience memiliki arti suara hati, yang dapat diartikan sebagai kesadaran atas orang lain, atas penglihatan, komentar dan kritik yang mempengaruhi posisi seseorang dan penghargaan terhadap status seseorang.

Masyarakat Jawa juga meyakini adanya Ukum pinesthi. Yaitu, segala ciptaan harus menempuh garis yang sudah ditetapkan.
Disini dijelaskan, Peristiwa tidak terjadi secara kebetulan, akan tetapi merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam wujud “kebenaran”. Peristiwa baru merupakan persimpangan (co-inciding) yang berarti, bayang-bayang yang tak terhindarkan. Dari sinilah muncul tradisi pitungan.

“Manunggaling Kawula-Gusti”, memiliki makna, kemanunggalan antara hamba dengan Tuhan. Disini dijelaskan untuk mencapai ingsung sejati atau “aku yang sejati”.

Pada suatu sore, Rama mendengar percakapan yang sangat mendalam antara pemilik villa dengan penjaga villa.
Penjaga villa mengatakan:
“Hubungan kita adalah bukan hubungan”. “ Keadaanku adalah ketiadaanku”.
Pemilik villa mengernyitkan alisnya kemudian berkata: “Apa maksudmu?”
Penjaga villa mengatakan:
“Tidak ada maksud apa-apa, hidup sekedarnya, bahagia sebesarnya”
“Dan Mati???”
“Ialah kalau kita tak lagi punya gerak”
“Dan engkau tidak takut?”
“Justru yang paling tidak menakutkan”.

Percakapan sederhana yang mempunyai filosofi kehidupan yang tinggi dan mendalam. Buku karangan Pramoedya “Bukan Pasar Malam (1951)” dijelaskan, dalam hidup kita, semua datang sendirian dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar malam, di mana kita datang dan pergi bersama-sama.
Begitu pula dengan Kredo Rendra,

Kemarin dan esok
Adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan
Sama saja
Langit di luar
Langit di badan
Bersatu dalam jiwa


Oleh: Pipit Septiani (diambil dari, Buku “Mistisisme Jawa” karangan Niels Mulder).

Sabtu, 13 September 2014

Cinta Tak Selezat Roti Isi



Cinta tidak selezat roti isi keju, parutan coklat, margarin dan susu kental manis, tidak..
Cinta tidak semanis kurma nabi yang paling dicari dan termahsyur namanya..
Cinta tidak semenarik pelangi yang muncul selepas hujan berjatuhan basahi Bumi.. tidak..


Aku banyak bicara tentang garis, sedangkan yang harus kulihat adalah langit. Kalau saja dia adalah lautan salju, aku mau jatuh diatasnya dan berenang menemui singgasana Sang Maha.

Usiaku berkurang sebentar lagi.

Kalau saja bisa, aku akan melewati tanggal esok. Aku tidak begitu suka ulang tahun.
Karena aku selalu membawa segelas air rasa, ketika hari itu tiba.

Maafkan aku Allah, aku susah mengendalikan perasaan. Engkau lah Maha Tahu, aku berproses dari apa dan berapa lamanya. Sangat susah sekali ketika prinsip berbenturan dengan perasaan. Isi kepala berbenturan dengan maunya hati.

Aku harus gelap dulu, baru bersyukur ada cahaya.

Aku harus hidup dulu, baru bersyukur kenapa alasan untuk “ada” kini ada.

Aku memasang jarak ribuan kilometer. Jutaan bahkan.
Sebenarnya jarak tanah dengan injakan biru yang terpasang di atas tak begitu jauh. Hanya, udaralah yang menghalanginya hingga terlihat teramat sangat. Jauh.

Jika saja aku dapat membangun tangga kelangit, aku akan mengajakmu pergi bersama-sama. Mengalami udara bersama-sama.

Maafkan aku..

Karna aku mencintaimu, karena-Nya.
Aku sudah kutuk mataku jika saja masih melihat terlalu dalam kepadamu, tapi. Sialnya, ini seperti sudah biasa.
Aku sudah minta hatiku untuk tidak terlalu meluap ketika aku berada disampingmu, tapi. Sialnya, hampir-hampir melonjak nakal karena getarannya sudah tidak bisa aku kendalikan.
Aku tidak tahu kenapa isi kepalaku bisa sangat teratur ketika bayanganmu muncul sekilas.


Setiap orang menjadi manusia baru setelah 10 tahun kehidupannya setelah kelahiran. Aku kini manusia baru yang ke-2 setelah aku dilahirkan.
Dua puluh tahun lamanya aku menghirup udara di Bumi Indonesia ini. Dua puluh tahun lamanya seperti melakukan perjalanan mengitari Dunia di sisi yang lain, tapi pada nyatanya aku masih disini-sini saja.


Ayah, Ibu,

Aku, anakmu, sudah dewasa bukan?

Anakmu ini sedang berperang.

Melawan nafsu, mengendalikan perasaannya, 

menuju cita-citanya menjadi penulis yang membuat banyak orang menghargai kehidupan, menuju cita-citanya menjadi seorang konselor profesional, menuju cita-citanya menjadi istri dari seorang konselor profesional, menuju pribadi yang kaya aksi karna pengalaman organisasi, menjadi pribadi yang berguna untuk orang-orang yang mendiami hati dan didiami hatinya lewat doa.


Aku tidak peduli siapa mangsaku, dan siapa yang akan memangsaku,

Berdiri adalah pilihan,

Jika engkau tetap, engkau seperti berada dalam ujung sebuah jembatan panjang, bawahnya jurang, tiada cahaya yang nampak sedikitpun. Hanya ada nurani yang menuntun dan jiwa yang ketakutan untuk mengambil arah.

Berjalan maju adalah sebuah keharusan. Jika tidak ingin langkahmu mati dalam diam. Atau terpuruk dan dijauhi oleh waktu beserta kenangan masa lalumu.

Berjalan mundur adalah keheningan. Jika kau tidak melakukannya kau tidak pernah tau kau sampai di titik mana. Bagaimana engkau berproses dan kenapa langit memilihmu.
Kini 20 tahun aku bernapas dengan segala limpahan rahmat dan karunia-Mu,


Aku sungguh-sungguh bersedih atas berkurangnya usia.


Tapi aku bahagia Allah, aku menjadi lebih dekat dengan-Mu.