Senin, 22 September 2014
Halaman Bersembunyi
Sudut
Garis tak terabai dan tak tergapai.
Jemari menyentuh lutut bibir seraya berkomat kamit. Ada apa
lagi dalam sorot matamu yang dalam itu, selain ketidaktahuanku?
Sudut
Tanpa ada sepasang mata yang tahu. Biasanya aku kan di
lantai paling atas. Kini aku mengabai, dan meletakkan kegusaran di sudut.
Tempat dimana banyak orang tidak tahu, mencari-cari sesuatu
untuk ditemu.
Sayangnya disini hanya ada aku. Bukan kamu yang brutal
dengan prinsipmu. Bukan mereka yang mengerti bahasa tubuhku, bukan pula dia
yang pernah tenggelam dan kupaksa muncul dari kenangan.
Kalau saja aku lebih bisa diukur dengan ilmu, mungkin
nilaiku setara dengan ratusan buku di ruangan ini. Memenuhi, berulang kali
terabaikan, berulang kali dipertanyakan letakknya, dan berulang kali ditelusur.
Tapi tak mudah ditemui, seperti buku-buku di perpustakaan ini.
Aku mengintip dari balik pesona tinta dan mereka yang
menjatuhiku dengan isi. Aku tertarik karena banyak yang meminta bukan berarti
aku selalu penuh harap karna yang menuliskanku bukan mereka yang selalu berilmu
akan tetapi mereka yang selalu memberitahukanku sesuatu, mereka yang tak pernah
diam melihat polahku. Mereka yang selalu ingin aku ditemukan, dengan segera.
Seperti catatan tipis dalam sela rak paling susah dijangkau
mata, diraih tangan. Seperti kelabu yang menolak menjadi hitam, sekalipun putih
adalah pilihan yang tak terbantahkan.
Menelaah tepi-tepi sampul, berharap aku menemukan judul
sesuai dengan permintaan hati.
Banyak buku yang berteriak dan berbicara dari hati-ke hati.
Mereka meminta untuk ku ambil. Akan tetapi curiga dan perasaan tak tenang
melingkupi dasar jiwa dan anehnya aku mulai tak tahu harus memberi ketegasan
macam apa. Aku kan takluk kalau aku tidak punya paduan.
Berhenti di titik ini. Mulailah mencari meski harus berulang
kali menari dalam kehawairan yang kumiliki sendiri. Aku bukan makhluk
sesempurna nabi, bukan pula makhluk sekecil semut. Aku bernabi dan aku berpandu
pada tulisan yang telah disuratkan, aku tinggal tahu kapan akan menuju tangga
kelangit. Bukan dengan buku-buku yang kutelan. Dengan halaman-halaman yang
tercecer saking banyaknya orang yang memperebutkan sehingga buku itu mulai,
rusak.
Minggu, 21 September 2014
Angin, Jalanan Malam, Lampu Kendaraan dan Lampu Kota Jogja
Berguru pada langit dan musim-musim kering jaman dulu. Kelak
akan aku bertahu, kenapa mimik wajah yang rindu bisa menyimpan sejuta rahasia. Buat
apa aku kembali kepada kenyamanan disana, jika yang aku lihat hanyalah
nada-nada meninggi dan saling meneriaki. Buat apa?
Buat apa aku menjadi tulang jika yang dikehendaki Tuhan aku
menjadi gelas kaca yang siap mereka pecahkan untuk melukai satu sama lain. Bisik-bisik
menertawakanku dalam diam, aku sakit tak menghiraukan kata-kata Tuhan. Sebenarnya
apa yang dunia inginkan? Segelas tawa? Secangkir kopi pahit? Secarik kemurkaan?
Segenggam keabadian? Bias-bias senja tak lagi mengiringiku dalam bahagia. Bukan
berarti aku orang yang tidak bahagia, hanya saja tabu memikirkan apa yang akan
aku alami selanjutnya tanpa berbuat apa-apa. Aku terlalu sering mengigau dan
mengagumi mimpi sampai aku lupa pada bayang-bayang yang kuinjak sendirian.
Jika kau letakkan di bawah, maka tempat orang adalah kesakitanmu.
Jika kau letakkan di atas, maka tempat orang adalah kebahagiaanmu. Jika satu
tambah satu samadengan dua, aku pernah membiarkannya beranak-pinak menjadi
jawaban-jawaban indah lainnya. Otakku tidak berhenti di kata-kata yang jelas,
dia hanya membantu mengeluarkan isi hati yang tidak karuan bentuknya ini. Demi
sebuah pertanyaan kenapa.
Mendung sekali langit malam ini. Meskipun gelap, toh aku
masih bisa merasakannya juga. Sama seperti Tuhan. Meskipun tak terlihat, toh
aku masih bisa merasakan-Nya juga.
Sesekali aku menengok langit. Tapi tak ada yang lebih
berarti daripada membayangkan wajahmu tenggelam di sana bersama kumpulan
bintang-bintang yang berbinar. Oh Tuhan, September hendak berakhir tapi aku
masih belum juga bisa melihat kunang-kunang yang ku kagumi.
Jalanan malam. Jalanan malam yang kubenci.
Aku seperti cacing yang kepanasan. Ini rindu atau ini benci.
Aku cemburu dan aku perasa. Segalanya berbaur dan aku menyelami perasaan
melalui syair yang aku teriakkan penuh-penuh dalam emosi saat berkendara
membelah jalanan malam kota Jogja. Aku pusing memikirkan pertanyaan kenapa. Kenapa
kenapa kenapa dan kenapa. Kenapa?
Aku senang melihat wajah mereka. Alasanku maju atau mati tak
sempurna. Alasanku melaju atau diam tak berdaya. Aku senang mencium kedua
tangan mereka, mengucapkan salam dan saling mendoakan satu sama lain. Aku anak
dan mereka orang tua. Aku sayang dan mereka menyayangi.
Aku betah dan mereka
curiga aku lebih menyayangi mereka daripada diriku sendiri.
Biar malam tetap penuh cahaya.
Mana ada hal yang perlu ditakuti lagi? Mereka di sana bukannya
selalu mendoakan yang terbaik?
Bisakan bicara tentang hal lain saja? Misalnya tentang
pertanyaan kenapa itu tadi.
Kenapa?
Kuberitahukan sesuatu, banyak hal menuntuk untuk mengerti
tapi banyak hal semakin membuat kita untuk mengerti. Tau kan? Alam kan selalu
tak sejalan dengan pemikiran kita. Dan bukannya terang, gang panjang menuju
tempat keluar semakin gelap saja.
Aku galau.
Pertanyaanku tak terjawab dan aku harus lebih sabar menunggu
waktu?
Padahal waktu yang ditunggu semakin jauh meninggalkan.
Apa aku terlalu meninggi hingga harus selalu merendah
dihadapan kekalutan?
Apa aku terlalu rendah hingga harus meninggi ketika bertemu
kenyataan?
Sekarang tiba-tiba terlintas pemikiran konyol yang
menelanjangi akal untuk mengatakan hal yang pertama kali aku pendam dalam
kepada dia yang tak pernah mengerti asal usul perasaan ini, kenapa ada.
Apakah engkau yang ditunjuk Tuhan untuk merubah kondisi ini?
ketakutanku?
Aku Jawa, aku begini dan aku seperti ini. Apa masuk akan
jika engkau menaruh perasaan yang sama?
Jika saja bisa ingin aku muntahkan perasaan ini menjadi
bentuk kasat mata. Dan kutunjukkan kepadamu betapa tidak berbentuknya hati,
lidah dan pikiranku ketika mereka bertemu dan berbenturan dengan nama.....
Namamu.
Jumat, 19 September 2014
Pemuda Mengakar
“....dalam hidup kita, semua datang sendirian
dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar malam, di mana kita datang dan pergi
bersama-sama....”-Pramoedya (dalam Bukan Pasar Malam).
Buruh Tani mahasiswa rakyat
miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa Orba
Marilah kawan mari kita tunjukkan
Ditangan kita tergenggam arah
bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu, tentang pembebasan
Dibawah tanah tirani, kulukiskan
garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi, bagiku
satu langkah pasti
(“Buruh Tani”)
Sepenggal lagu yang siapa saja
yang mengaku pemuda akan meninggalkan jejak kegalauan yang mendalam ketika
mendengarkannya pun mengalunkannya. Sepenggal lagu yang siapa saja yang mengaku
pemuda akan mencipta garis sesegera mungkin untuk memimpin ketertinggalan,
mengeluarkan rakyat dalam kesengsaraan. Perih begitu melihat badan asing
menginjak-injak kehormatan bangsa dengan memprovokasi pemuda sebagai alat
kuasa.
Jauh di atas langit biru yang
membentang, telah banyak tanda-tanda bahwa pemuda tertulis disana sebagai
tongkat sakti dunia. Getar dan tegapnya dipertanyakan melalui gerakan-gerakan
sederhana yang memberikan hasil yang luar biasa. Engkau sentil debu, engkau
rubuhkan benteng. Engkau bersihkan kursi, engkau bernyenyak-nyenyak ria di atas
kursi parlemen. Tidak ada hal muluk lain yang harus dikhawatirkan karna engkau adalah
pembentuk kualitas hidup di dunia yang mengidamkan kebahagiaan yang sejati.
Penulis memang kadang irasional. Tidak
menggunakan logika dalam menjelaskan sesuatu. Mereka terkesan asal-asalan, yang
penting ngomong, caturan dan terlalu banyak bicara. Tapi tahukan bahwa
kebanyakan oleh apa yang mereka tulis adalah apa yang mereka alami dan rasakan.
Gerakan memang tak semudah
membalikkan badan. Kita bukan beruang yang mengalami hibernasi di musim dingin
sehingga nama gerak kita dinamai gerak musiman. Kita bukan juga si cebol yang
merindukan bulan. Kita tak pernah berharap kepada hal muluk akan tetapi
memiliki keyakinan kepada cita-cita bangsa yang tinggi demi tercapainya
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis memang bisanya caturan. Memikirkan
hal-hal yang tinggi lalu menerbangkan impian, menghamburkannya melalui udara. Tapi
asal tau, hasil tulisan adalah apa yang kita serap, alami dan rasakan. Tidak ada
omong kosong yang sengaja kami tuang untuk provokasi.
Hijau sudah tidak nampak lagi di
Bumi Indonesia.
Ladang yang mulanya nampak segar
dijelajahi mata karena air sungainya mengalir sangat deras dan bening berganti
dengan tanah coklat yang kering renyah diinjak semut-semut ahli berpetualang.
Hingar bingar kota, lampu pijar
gedung-gedung pencakar langit menghiasi layaknya bintang-bintang kota yang
menggantikan angkasa. Ribuan anak jalanan memacu keterlibatannya terhadap waktu
dan batasan antara hidup dan mati. Ribuan orang tua mati nelangsa memikirkan
anak cucu yang kurang ajar membagi waktu berharga mereka untuk narkoba, rokok,
hura-hura, berfoya, nakal dan melakukan tindak kejahatan dalam bentuk apapun. Merusak
citra. Merusak susu.
Mereka-mereka yang menantang
munculnya kebenaran datang bersama dusta dan mengatasnamakan pemimpin sebagai
hal layak untuk disalah-salahkan. Saling tunjuk siapa monyet binaan para
penguasa. Siapa protokolir yang menggerakkan masa untuk isu yang murahan dan
menghancurkan harkat martabat bangsa.
Ketika segala telah dihamparan
mata. Nyata menyala-nyala, ketika itu..
Kemana para muda? Para pemuda?
Apa mereka sedang pergi belanja
di pusat perbelanjaan paling besar dikota, membeli label asing untuk mereka
kenakan sebagai mahkota, sebagai irisan kain penutup badan paling minim bahan
dan mahal harga?
Apa mereka sedang menusuk bola
billiyard untuk mereka jatuhkan di lubang meja panjang yang hitam kelam?
Apa mereka sedang mengagumi
wanita-wanita tengah malam dan membeli mereka dengan beberapa botol anggur
paling mahal?
Apa mereka pernah merasakan
kelezatan ketela pohon yang direbus empuk sebagai santap malam paling istimewa?
Apa mereka pernah merasakan
kasarnya telapak tangan ayah dan ibu mereka yang habis-habisan mencari uang
untuk sekedar makan tiga kali sehari, untuk sekedar membayar uang sekolah yang
makin lama makin mahal ini?
Tidak baik menuduh mangsa. Aku berbicara
dengan diri sendiri. Jadi tidak usah ada yang tersinggung.
Kamis, 18 September 2014
Mereka Jawa
Mereka-mereka adalah orang yang mengetahui dan bisa
mengekspresikan kehidupan, mereka adalah orang-orang yang memiliki kepedulian
dan yang mengetahui bahwa semua itu punya satu makna, dan hal itu sangat
penting untuk memahami kehidupan pribadi seseorang. Mereka-mereka itulah
orang-orang yang sering disebut dengan orang “Kejawen”.
Kebanyakan orang Jawa kental dengan mistisisme. Orang Jawa meyakini apa yang mereka alami di dunia ini
adalah akibat dari hubungan alam dengan Tuhan. Orang yang bisa merasakan
pertanda-pertanda dari alam hanyalah orang yang mau mempertajam hati untuk olah
rasa, biasa disebut dengan kebatinan
kejawen.
Orang Jawa terkenal dengan penalaran mistiknya, baik yang
berupa primbon dan juga pitungan. Dalam cerita-cerita mitologi
wayang terdapat falsafah hidup yang dalam, kebanyakan orang jawa menjalani masa
sekarang berdasarkan pelajaran dari sejarah dalam cerita pewayangan, misalnya
“Mahabarata”, “Bhagawat Giza”, Karno Gugur”, dan “Semar Boyong”.
Orang Jawa memegang teguh filsafat, “Jika manusia adalah
sebab utama bagi kondisinya, maka moral dan perilaku spiritualnya harus
diperhatikan”.
Dalam filsafat Jawa, ada tiga ungkapan penting yang harus
dipegang teguh:
1.
Rame ing
Gawe, mempunyai arti, melakukan perbuatan baik untuk kemaslahaan semua
orang. Tidak ada orang yang dapat berdiri sendiri. Asas Gotong Royong. Filsafat
ini terdapat dalam nilai Ekaprasetia Pancakarsa, alias Pancasila. Orang Jawa
suka berkelompok, melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama dan menanggung
penderitaan bersama-sama. Tradisi slametan,
kenduri dan tahlilan, misalnya.
2.
Mamayu
Hayuning Bawono, mempunyai arti,
menghiasi dunia. Manusia hidup tidak hanya sekedar mencari kebahagiaan untuk
dirinya sendiri, akan tetapi peduli kepada kebahagiaan orang lain. Mereka
memberi tanpa harap menerima. Bekerja giat dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Orang Jawa mempunyai jiwa pemimpin yang tangguh dan unggul. Meskipun tegas,
kebanyakan orang Jawa adalah sosok yang lembut dan selalu menjaga perasaan
orang-orang disekitarnya.
3.
Sepi ing
Pamrih, memiliki arti, tidak mementingkan diri sendiri.
Poin pertamanya adalah RELA. Orang Jawa
mudah sekali merelakan bahkan hal yang menyakitkan sekalipun. Mudah dikecewakan
akan tetapi tidak mudah menaruh dendam.
Poin keduanya adalah MENERIMA. Kebiasaan
saling memberi dan toleransi yang tinggi kepada orang lain adalah prinsip yang
dipegang teguh masyarakat Jawa. Mereka senang sekali ketika bisa memberikan
buah kepedulian kepada tetangga dekat, kerabat dan sanak saudaranya.
Poin ketiga, SELALU INGAT. Masyarakat Jawa
susah sekali melupakan kebaikan orang lain. Mereka akan selalu mengingat dan
membalasnya dengan kebaikan juga.
Poin keempat, RENDAH HATI. Masyarakat Jawa
tidak suka menonjolkan kekayaannya. Sikap rendah hati adalah hal yang utama
demi mencapai kehidupan yang rukun antar tetangga dan masyarakat.
Poin kelima, BERSAHAJA. Masyarakat Jawa
menjunjung tinggi rasa gensi, malu dan subasita
(aturan perilaku). Masyarakat Jawa memiliki sikap “alon-alon waton kelakon”. Bertindak
tanpa terburu-terburu, akan tetapi menyelesaikan tugas dengan baik.
Poin keenam, PRIHATIN. Masyarakat Jawa memandang
orang kaya bukan orang yang memiliki uang banyak lalu dihambur-hamburkan, akan
tetapi orang kaya adalah orang yang pandai bersyukur dan mampu mengendalikan
nafsunya untuk bersikap konsumtif.
Menurut masyarakat Jawa, Conscience
memiliki arti suara hati, yang dapat diartikan sebagai kesadaran atas orang
lain, atas penglihatan, komentar dan kritik yang mempengaruhi posisi seseorang
dan penghargaan terhadap status seseorang.
Masyarakat Jawa juga meyakini adanya Ukum pinesthi. Yaitu, segala ciptaan
harus menempuh garis yang sudah ditetapkan.
Disini dijelaskan, Peristiwa tidak terjadi
secara kebetulan, akan tetapi merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan
tersembunyi dalam wujud “kebenaran”. Peristiwa baru merupakan persimpangan (co-inciding) yang berarti,
bayang-bayang yang tak terhindarkan. Dari sinilah muncul tradisi pitungan.
“Manunggaling Kawula-Gusti”, memiliki
makna, kemanunggalan antara hamba dengan Tuhan. Disini dijelaskan untuk
mencapai ingsung sejati atau “aku
yang sejati”.
Pada suatu sore, Rama mendengar percakapan
yang sangat mendalam antara pemilik villa dengan penjaga villa.
Penjaga villa mengatakan:
“Hubungan kita adalah bukan hubungan”. “
Keadaanku adalah ketiadaanku”.
Pemilik villa mengernyitkan alisnya
kemudian berkata: “Apa maksudmu?”
Penjaga villa mengatakan:
“Tidak ada maksud apa-apa, hidup
sekedarnya, bahagia sebesarnya”
“Dan Mati???”
“Ialah kalau kita tak lagi punya gerak”
“Dan engkau tidak takut?”
“Justru yang paling tidak menakutkan”.
Percakapan sederhana yang mempunyai
filosofi kehidupan yang tinggi dan mendalam. Buku karangan Pramoedya “Bukan
Pasar Malam (1951)” dijelaskan, dalam
hidup kita, semua datang sendirian dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar
malam, di mana kita datang dan pergi bersama-sama.
Begitu pula dengan Kredo Rendra,
Kemarin
dan esok
Adalah
hari ini
Bencana
dan keberuntungan
Sama saja
Langit
di luar
Langit
di badan
Bersatu
dalam jiwa
Oleh: Pipit Septiani (diambil dari, Buku “Mistisisme
Jawa” karangan Niels Mulder).
Sabtu, 13 September 2014
Cinta Tak Selezat Roti Isi
Cinta tidak selezat roti isi keju, parutan coklat, margarin
dan susu kental manis, tidak..
Cinta tidak semanis kurma nabi yang paling dicari dan
termahsyur namanya..
Cinta tidak semenarik pelangi yang muncul selepas hujan
berjatuhan basahi Bumi.. tidak..
Aku banyak bicara tentang garis, sedangkan yang harus
kulihat adalah langit. Kalau saja dia adalah lautan salju, aku mau jatuh
diatasnya dan berenang menemui singgasana Sang Maha.
Usiaku berkurang sebentar lagi.
Kalau saja bisa, aku akan melewati tanggal esok. Aku tidak
begitu suka ulang tahun.
Karena aku selalu membawa segelas air rasa, ketika hari itu
tiba.
Maafkan aku Allah, aku susah mengendalikan perasaan. Engkau
lah Maha Tahu, aku berproses dari apa dan berapa lamanya. Sangat susah sekali
ketika prinsip berbenturan dengan perasaan. Isi kepala berbenturan dengan
maunya hati.
Aku harus gelap dulu, baru bersyukur ada cahaya.
Aku harus hidup dulu, baru bersyukur kenapa alasan untuk “ada”
kini ada.
Aku memasang jarak ribuan kilometer. Jutaan bahkan.
Sebenarnya jarak tanah dengan injakan biru yang terpasang di
atas tak begitu jauh. Hanya, udaralah yang menghalanginya hingga terlihat
teramat sangat. Jauh.
Jika saja aku dapat membangun tangga kelangit, aku akan
mengajakmu pergi bersama-sama. Mengalami udara bersama-sama.
Maafkan aku..
Karna aku mencintaimu, karena-Nya.
Aku sudah kutuk mataku jika saja masih melihat terlalu dalam
kepadamu, tapi. Sialnya, ini seperti sudah biasa.
Aku sudah minta hatiku untuk tidak terlalu meluap ketika aku
berada disampingmu, tapi. Sialnya, hampir-hampir melonjak nakal karena
getarannya sudah tidak bisa aku kendalikan.
Aku tidak tahu kenapa isi kepalaku bisa sangat teratur
ketika bayanganmu muncul sekilas.
Setiap orang menjadi manusia baru setelah 10 tahun
kehidupannya setelah kelahiran. Aku kini manusia baru yang ke-2 setelah aku
dilahirkan.
Dua puluh tahun lamanya aku menghirup udara di Bumi
Indonesia ini. Dua puluh tahun lamanya seperti melakukan perjalanan mengitari
Dunia di sisi yang lain, tapi pada nyatanya aku masih disini-sini saja.
Ayah, Ibu,
Aku, anakmu, sudah dewasa bukan?
Anakmu ini sedang berperang.
Melawan nafsu, mengendalikan perasaannya,
menuju
cita-citanya menjadi penulis yang membuat banyak orang menghargai kehidupan,
menuju cita-citanya menjadi seorang konselor profesional, menuju cita-citanya
menjadi istri dari seorang konselor profesional, menuju pribadi yang kaya aksi
karna pengalaman organisasi, menjadi pribadi yang berguna untuk orang-orang
yang mendiami hati dan didiami hatinya lewat doa.
Aku tidak peduli siapa mangsaku, dan siapa yang akan
memangsaku,
Berdiri adalah pilihan,
Jika engkau tetap, engkau seperti berada dalam ujung sebuah
jembatan panjang, bawahnya jurang, tiada cahaya yang nampak sedikitpun. Hanya ada
nurani yang menuntun dan jiwa yang ketakutan untuk mengambil arah.
Berjalan maju adalah sebuah keharusan. Jika tidak ingin
langkahmu mati dalam diam. Atau terpuruk dan dijauhi oleh waktu beserta
kenangan masa lalumu.
Berjalan mundur adalah keheningan. Jika kau tidak
melakukannya kau tidak pernah tau kau sampai di titik mana. Bagaimana engkau
berproses dan kenapa langit memilihmu.
Kini 20 tahun aku bernapas dengan segala limpahan rahmat dan
karunia-Mu,
Aku sungguh-sungguh bersedih atas berkurangnya usia.
Tapi aku bahagia Allah, aku menjadi lebih dekat dengan-Mu.
Langganan:
Postingan (Atom)