Mereka-mereka adalah orang yang mengetahui dan bisa
mengekspresikan kehidupan, mereka adalah orang-orang yang memiliki kepedulian
dan yang mengetahui bahwa semua itu punya satu makna, dan hal itu sangat
penting untuk memahami kehidupan pribadi seseorang. Mereka-mereka itulah
orang-orang yang sering disebut dengan orang “Kejawen”.
Kebanyakan orang Jawa kental dengan mistisisme. Orang Jawa meyakini apa yang mereka alami di dunia ini
adalah akibat dari hubungan alam dengan Tuhan. Orang yang bisa merasakan
pertanda-pertanda dari alam hanyalah orang yang mau mempertajam hati untuk olah
rasa, biasa disebut dengan kebatinan
kejawen.
Orang Jawa terkenal dengan penalaran mistiknya, baik yang
berupa primbon dan juga pitungan. Dalam cerita-cerita mitologi
wayang terdapat falsafah hidup yang dalam, kebanyakan orang jawa menjalani masa
sekarang berdasarkan pelajaran dari sejarah dalam cerita pewayangan, misalnya
“Mahabarata”, “Bhagawat Giza”, Karno Gugur”, dan “Semar Boyong”.
Orang Jawa memegang teguh filsafat, “Jika manusia adalah
sebab utama bagi kondisinya, maka moral dan perilaku spiritualnya harus
diperhatikan”.
Dalam filsafat Jawa, ada tiga ungkapan penting yang harus
dipegang teguh:
1.
Rame ing
Gawe, mempunyai arti, melakukan perbuatan baik untuk kemaslahaan semua
orang. Tidak ada orang yang dapat berdiri sendiri. Asas Gotong Royong. Filsafat
ini terdapat dalam nilai Ekaprasetia Pancakarsa, alias Pancasila. Orang Jawa
suka berkelompok, melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama dan menanggung
penderitaan bersama-sama. Tradisi slametan,
kenduri dan tahlilan, misalnya.
2.
Mamayu
Hayuning Bawono, mempunyai arti,
menghiasi dunia. Manusia hidup tidak hanya sekedar mencari kebahagiaan untuk
dirinya sendiri, akan tetapi peduli kepada kebahagiaan orang lain. Mereka
memberi tanpa harap menerima. Bekerja giat dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Orang Jawa mempunyai jiwa pemimpin yang tangguh dan unggul. Meskipun tegas,
kebanyakan orang Jawa adalah sosok yang lembut dan selalu menjaga perasaan
orang-orang disekitarnya.
3.
Sepi ing
Pamrih, memiliki arti, tidak mementingkan diri sendiri.
Poin pertamanya adalah RELA. Orang Jawa
mudah sekali merelakan bahkan hal yang menyakitkan sekalipun. Mudah dikecewakan
akan tetapi tidak mudah menaruh dendam.
Poin keduanya adalah MENERIMA. Kebiasaan
saling memberi dan toleransi yang tinggi kepada orang lain adalah prinsip yang
dipegang teguh masyarakat Jawa. Mereka senang sekali ketika bisa memberikan
buah kepedulian kepada tetangga dekat, kerabat dan sanak saudaranya.
Poin ketiga, SELALU INGAT. Masyarakat Jawa
susah sekali melupakan kebaikan orang lain. Mereka akan selalu mengingat dan
membalasnya dengan kebaikan juga.
Poin keempat, RENDAH HATI. Masyarakat Jawa
tidak suka menonjolkan kekayaannya. Sikap rendah hati adalah hal yang utama
demi mencapai kehidupan yang rukun antar tetangga dan masyarakat.
Poin kelima, BERSAHAJA. Masyarakat Jawa
menjunjung tinggi rasa gensi, malu dan subasita
(aturan perilaku). Masyarakat Jawa memiliki sikap “alon-alon waton kelakon”. Bertindak
tanpa terburu-terburu, akan tetapi menyelesaikan tugas dengan baik.
Poin keenam, PRIHATIN. Masyarakat Jawa memandang
orang kaya bukan orang yang memiliki uang banyak lalu dihambur-hamburkan, akan
tetapi orang kaya adalah orang yang pandai bersyukur dan mampu mengendalikan
nafsunya untuk bersikap konsumtif.
Menurut masyarakat Jawa, Conscience
memiliki arti suara hati, yang dapat diartikan sebagai kesadaran atas orang
lain, atas penglihatan, komentar dan kritik yang mempengaruhi posisi seseorang
dan penghargaan terhadap status seseorang.
Masyarakat Jawa juga meyakini adanya Ukum pinesthi. Yaitu, segala ciptaan
harus menempuh garis yang sudah ditetapkan.
Disini dijelaskan, Peristiwa tidak terjadi
secara kebetulan, akan tetapi merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan
tersembunyi dalam wujud “kebenaran”. Peristiwa baru merupakan persimpangan (co-inciding) yang berarti,
bayang-bayang yang tak terhindarkan. Dari sinilah muncul tradisi pitungan.
“Manunggaling Kawula-Gusti”, memiliki
makna, kemanunggalan antara hamba dengan Tuhan. Disini dijelaskan untuk
mencapai ingsung sejati atau “aku
yang sejati”.
Pada suatu sore, Rama mendengar percakapan
yang sangat mendalam antara pemilik villa dengan penjaga villa.
Penjaga villa mengatakan:
“Hubungan kita adalah bukan hubungan”. “
Keadaanku adalah ketiadaanku”.
Pemilik villa mengernyitkan alisnya
kemudian berkata: “Apa maksudmu?”
Penjaga villa mengatakan:
“Tidak ada maksud apa-apa, hidup
sekedarnya, bahagia sebesarnya”
“Dan Mati???”
“Ialah kalau kita tak lagi punya gerak”
“Dan engkau tidak takut?”
“Justru yang paling tidak menakutkan”.
Percakapan sederhana yang mempunyai
filosofi kehidupan yang tinggi dan mendalam. Buku karangan Pramoedya “Bukan
Pasar Malam (1951)” dijelaskan, dalam
hidup kita, semua datang sendirian dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar
malam, di mana kita datang dan pergi bersama-sama.
Begitu pula dengan Kredo Rendra,
Kemarin
dan esok
Adalah
hari ini
Bencana
dan keberuntungan
Sama saja
Langit
di luar
Langit
di badan
Bersatu
dalam jiwa
Oleh: Pipit Septiani (diambil dari, Buku “Mistisisme
Jawa” karangan Niels Mulder).
0 komentar:
Posting Komentar