Kamis, 18 September 2014

Mereka Jawa




Mereka-mereka adalah orang yang mengetahui dan bisa mengekspresikan kehidupan, mereka adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan yang mengetahui bahwa semua itu punya satu makna, dan hal itu sangat penting untuk memahami kehidupan pribadi seseorang. Mereka-mereka itulah orang-orang yang sering disebut dengan orang “Kejawen”.

Kebanyakan orang Jawa kental dengan mistisisme. Orang Jawa meyakini apa yang mereka alami di dunia ini adalah akibat dari hubungan alam dengan Tuhan. Orang yang bisa merasakan pertanda-pertanda dari alam hanyalah orang yang mau mempertajam hati untuk olah rasa, biasa disebut dengan kebatinan kejawen.

Orang Jawa terkenal dengan penalaran mistiknya, baik yang berupa primbon dan juga pitungan. Dalam cerita-cerita mitologi wayang terdapat falsafah hidup yang dalam, kebanyakan orang jawa menjalani masa sekarang berdasarkan pelajaran dari sejarah dalam cerita pewayangan, misalnya “Mahabarata”, “Bhagawat Giza”, Karno Gugur”, dan “Semar Boyong”.

Orang Jawa memegang teguh filsafat, “Jika manusia adalah sebab utama bagi kondisinya, maka moral dan perilaku spiritualnya harus diperhatikan”.

Dalam filsafat Jawa, ada tiga ungkapan penting yang harus dipegang teguh:
1.       Rame ing Gawe, mempunyai arti, melakukan perbuatan baik untuk kemaslahaan semua orang. Tidak ada orang yang dapat berdiri sendiri. Asas Gotong Royong. Filsafat ini terdapat dalam nilai Ekaprasetia Pancakarsa, alias Pancasila. Orang Jawa suka berkelompok, melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama dan menanggung penderitaan bersama-sama. Tradisi slametan, kenduri dan tahlilan, misalnya.
2.       Mamayu Hayuning Bawono,  mempunyai arti, menghiasi dunia. Manusia hidup tidak hanya sekedar mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri, akan tetapi peduli kepada kebahagiaan orang lain. Mereka memberi tanpa harap menerima. Bekerja giat dan memiliki etos kerja yang tinggi. Orang Jawa mempunyai jiwa pemimpin yang tangguh dan unggul. Meskipun tegas, kebanyakan orang Jawa adalah sosok yang lembut dan selalu menjaga perasaan orang-orang disekitarnya.
3.       Sepi ing Pamrih, memiliki arti, tidak mementingkan diri sendiri.
Poin pertamanya adalah RELA. Orang Jawa mudah sekali merelakan bahkan hal yang menyakitkan sekalipun. Mudah dikecewakan akan tetapi tidak mudah menaruh dendam.
Poin keduanya adalah MENERIMA. Kebiasaan saling memberi dan toleransi yang tinggi kepada orang lain adalah prinsip yang dipegang teguh masyarakat Jawa. Mereka senang sekali ketika bisa memberikan buah kepedulian kepada tetangga dekat, kerabat dan sanak saudaranya.
Poin ketiga, SELALU INGAT. Masyarakat Jawa susah sekali melupakan kebaikan orang lain. Mereka akan selalu mengingat dan membalasnya dengan kebaikan juga.
Poin keempat, RENDAH HATI. Masyarakat Jawa tidak suka menonjolkan kekayaannya. Sikap rendah hati adalah hal yang utama demi mencapai kehidupan yang rukun antar tetangga dan masyarakat.
Poin kelima, BERSAHAJA. Masyarakat Jawa menjunjung tinggi rasa gensi, malu dan subasita (aturan perilaku). Masyarakat Jawa memiliki sikap “alon-alon waton kelakon”. Bertindak tanpa terburu-terburu, akan tetapi menyelesaikan tugas dengan baik.
Poin keenam, PRIHATIN. Masyarakat Jawa memandang orang kaya bukan orang yang memiliki uang banyak lalu dihambur-hamburkan, akan tetapi orang kaya adalah orang yang pandai bersyukur dan mampu mengendalikan nafsunya untuk bersikap konsumtif.

Menurut masyarakat Jawa, Conscience memiliki arti suara hati, yang dapat diartikan sebagai kesadaran atas orang lain, atas penglihatan, komentar dan kritik yang mempengaruhi posisi seseorang dan penghargaan terhadap status seseorang.

Masyarakat Jawa juga meyakini adanya Ukum pinesthi. Yaitu, segala ciptaan harus menempuh garis yang sudah ditetapkan.
Disini dijelaskan, Peristiwa tidak terjadi secara kebetulan, akan tetapi merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam wujud “kebenaran”. Peristiwa baru merupakan persimpangan (co-inciding) yang berarti, bayang-bayang yang tak terhindarkan. Dari sinilah muncul tradisi pitungan.

“Manunggaling Kawula-Gusti”, memiliki makna, kemanunggalan antara hamba dengan Tuhan. Disini dijelaskan untuk mencapai ingsung sejati atau “aku yang sejati”.

Pada suatu sore, Rama mendengar percakapan yang sangat mendalam antara pemilik villa dengan penjaga villa.
Penjaga villa mengatakan:
“Hubungan kita adalah bukan hubungan”. “ Keadaanku adalah ketiadaanku”.
Pemilik villa mengernyitkan alisnya kemudian berkata: “Apa maksudmu?”
Penjaga villa mengatakan:
“Tidak ada maksud apa-apa, hidup sekedarnya, bahagia sebesarnya”
“Dan Mati???”
“Ialah kalau kita tak lagi punya gerak”
“Dan engkau tidak takut?”
“Justru yang paling tidak menakutkan”.

Percakapan sederhana yang mempunyai filosofi kehidupan yang tinggi dan mendalam. Buku karangan Pramoedya “Bukan Pasar Malam (1951)” dijelaskan, dalam hidup kita, semua datang sendirian dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar malam, di mana kita datang dan pergi bersama-sama.
Begitu pula dengan Kredo Rendra,

Kemarin dan esok
Adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan
Sama saja
Langit di luar
Langit di badan
Bersatu dalam jiwa


Oleh: Pipit Septiani (diambil dari, Buku “Mistisisme Jawa” karangan Niels Mulder).

0 komentar:

Posting Komentar