Jumat, 19 September 2014

Pemuda Mengakar


Gambar: kampusnews.com


 “....dalam hidup kita, semua datang sendirian dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar malam, di mana kita datang dan pergi bersama-sama....”-Pramoedya (dalam Bukan Pasar Malam).

Buruh Tani mahasiswa rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa Orba
Marilah kawan mari kita tunjukkan
Ditangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu, tentang pembebasan
Dibawah tanah tirani, kulukiskan garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi, bagiku satu langkah pasti
(“Buruh Tani”)

Sepenggal lagu yang siapa saja yang mengaku pemuda akan meninggalkan jejak kegalauan yang mendalam ketika mendengarkannya pun mengalunkannya. Sepenggal lagu yang siapa saja yang mengaku pemuda akan mencipta garis sesegera mungkin untuk memimpin ketertinggalan, mengeluarkan rakyat dalam kesengsaraan. Perih begitu melihat badan asing menginjak-injak kehormatan bangsa dengan memprovokasi pemuda sebagai alat kuasa.

Jauh di atas langit biru yang membentang, telah banyak tanda-tanda bahwa pemuda tertulis disana sebagai tongkat sakti dunia. Getar dan tegapnya dipertanyakan melalui gerakan-gerakan sederhana yang memberikan hasil yang luar biasa. Engkau sentil debu, engkau rubuhkan benteng. Engkau bersihkan kursi, engkau bernyenyak-nyenyak ria di atas kursi parlemen. Tidak ada hal muluk lain yang harus dikhawatirkan karna engkau adalah pembentuk kualitas hidup di dunia yang mengidamkan kebahagiaan yang sejati.

Penulis memang kadang irasional. Tidak menggunakan logika dalam menjelaskan sesuatu. Mereka terkesan asal-asalan, yang penting ngomong, caturan dan terlalu banyak bicara. Tapi tahukan bahwa kebanyakan oleh apa yang mereka tulis adalah apa yang mereka alami dan rasakan.
Gerakan memang tak semudah membalikkan badan. Kita bukan beruang yang mengalami hibernasi di musim dingin sehingga nama gerak kita dinamai gerak musiman. Kita bukan juga si cebol yang merindukan bulan. Kita tak pernah berharap kepada hal muluk akan tetapi memiliki keyakinan kepada cita-cita bangsa yang tinggi demi tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis memang bisanya caturan. Memikirkan hal-hal yang tinggi lalu menerbangkan impian, menghamburkannya melalui udara. Tapi asal tau, hasil tulisan adalah apa yang kita serap, alami dan rasakan. Tidak ada omong kosong yang sengaja kami tuang untuk provokasi.

Hijau sudah tidak nampak lagi di Bumi Indonesia.
Ladang yang mulanya nampak segar dijelajahi mata karena air sungainya mengalir sangat deras dan bening berganti dengan tanah coklat yang kering renyah diinjak semut-semut ahli berpetualang.
Hingar bingar kota, lampu pijar gedung-gedung pencakar langit menghiasi layaknya bintang-bintang kota yang menggantikan angkasa. Ribuan anak jalanan memacu keterlibatannya terhadap waktu dan batasan antara hidup dan mati. Ribuan orang tua mati nelangsa memikirkan anak cucu yang kurang ajar membagi waktu berharga mereka untuk narkoba, rokok, hura-hura, berfoya, nakal dan melakukan tindak kejahatan dalam bentuk apapun. Merusak citra. Merusak susu.

Mereka-mereka yang menantang munculnya kebenaran datang bersama dusta dan mengatasnamakan pemimpin sebagai hal layak untuk disalah-salahkan. Saling tunjuk siapa monyet binaan para penguasa. Siapa protokolir yang menggerakkan masa untuk isu yang murahan dan menghancurkan harkat martabat bangsa.

Ketika segala telah dihamparan mata. Nyata menyala-nyala, ketika itu..
Kemana para muda? Para pemuda?
Apa mereka sedang pergi belanja di pusat perbelanjaan paling besar dikota, membeli label asing untuk mereka kenakan sebagai mahkota, sebagai irisan kain penutup badan paling minim bahan dan mahal harga?
Apa mereka sedang menusuk bola billiyard untuk mereka jatuhkan di lubang meja panjang yang hitam kelam?
Apa mereka sedang mengagumi wanita-wanita tengah malam dan membeli mereka dengan beberapa botol anggur paling mahal?
Apa mereka pernah merasakan kelezatan ketela pohon yang direbus empuk sebagai santap malam paling istimewa?
Apa mereka pernah merasakan kasarnya telapak tangan ayah dan ibu mereka yang habis-habisan mencari uang untuk sekedar makan tiga kali sehari, untuk sekedar membayar uang sekolah yang makin lama makin mahal ini?


Tidak baik menuduh mangsa. Aku berbicara dengan diri sendiri. Jadi tidak usah ada yang tersinggung. 

0 komentar:

Posting Komentar