“....dalam hidup kita, semua datang sendirian
dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar malam, di mana kita datang dan pergi
bersama-sama....”-Pramoedya (dalam Bukan Pasar Malam).
Buruh Tani mahasiswa rakyat
miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa Orba
Marilah kawan mari kita tunjukkan
Ditangan kita tergenggam arah
bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu, tentang pembebasan
Dibawah tanah tirani, kulukiskan
garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi, bagiku
satu langkah pasti
(“Buruh Tani”)
Sepenggal lagu yang siapa saja
yang mengaku pemuda akan meninggalkan jejak kegalauan yang mendalam ketika
mendengarkannya pun mengalunkannya. Sepenggal lagu yang siapa saja yang mengaku
pemuda akan mencipta garis sesegera mungkin untuk memimpin ketertinggalan,
mengeluarkan rakyat dalam kesengsaraan. Perih begitu melihat badan asing
menginjak-injak kehormatan bangsa dengan memprovokasi pemuda sebagai alat
kuasa.
Jauh di atas langit biru yang
membentang, telah banyak tanda-tanda bahwa pemuda tertulis disana sebagai
tongkat sakti dunia. Getar dan tegapnya dipertanyakan melalui gerakan-gerakan
sederhana yang memberikan hasil yang luar biasa. Engkau sentil debu, engkau
rubuhkan benteng. Engkau bersihkan kursi, engkau bernyenyak-nyenyak ria di atas
kursi parlemen. Tidak ada hal muluk lain yang harus dikhawatirkan karna engkau adalah
pembentuk kualitas hidup di dunia yang mengidamkan kebahagiaan yang sejati.
Penulis memang kadang irasional. Tidak
menggunakan logika dalam menjelaskan sesuatu. Mereka terkesan asal-asalan, yang
penting ngomong, caturan dan terlalu banyak bicara. Tapi tahukan bahwa
kebanyakan oleh apa yang mereka tulis adalah apa yang mereka alami dan rasakan.
Gerakan memang tak semudah
membalikkan badan. Kita bukan beruang yang mengalami hibernasi di musim dingin
sehingga nama gerak kita dinamai gerak musiman. Kita bukan juga si cebol yang
merindukan bulan. Kita tak pernah berharap kepada hal muluk akan tetapi
memiliki keyakinan kepada cita-cita bangsa yang tinggi demi tercapainya
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis memang bisanya caturan. Memikirkan
hal-hal yang tinggi lalu menerbangkan impian, menghamburkannya melalui udara. Tapi
asal tau, hasil tulisan adalah apa yang kita serap, alami dan rasakan. Tidak ada
omong kosong yang sengaja kami tuang untuk provokasi.
Hijau sudah tidak nampak lagi di
Bumi Indonesia.
Ladang yang mulanya nampak segar
dijelajahi mata karena air sungainya mengalir sangat deras dan bening berganti
dengan tanah coklat yang kering renyah diinjak semut-semut ahli berpetualang.
Hingar bingar kota, lampu pijar
gedung-gedung pencakar langit menghiasi layaknya bintang-bintang kota yang
menggantikan angkasa. Ribuan anak jalanan memacu keterlibatannya terhadap waktu
dan batasan antara hidup dan mati. Ribuan orang tua mati nelangsa memikirkan
anak cucu yang kurang ajar membagi waktu berharga mereka untuk narkoba, rokok,
hura-hura, berfoya, nakal dan melakukan tindak kejahatan dalam bentuk apapun. Merusak
citra. Merusak susu.
Mereka-mereka yang menantang
munculnya kebenaran datang bersama dusta dan mengatasnamakan pemimpin sebagai
hal layak untuk disalah-salahkan. Saling tunjuk siapa monyet binaan para
penguasa. Siapa protokolir yang menggerakkan masa untuk isu yang murahan dan
menghancurkan harkat martabat bangsa.
Ketika segala telah dihamparan
mata. Nyata menyala-nyala, ketika itu..
Kemana para muda? Para pemuda?
Apa mereka sedang pergi belanja
di pusat perbelanjaan paling besar dikota, membeli label asing untuk mereka
kenakan sebagai mahkota, sebagai irisan kain penutup badan paling minim bahan
dan mahal harga?
Apa mereka sedang menusuk bola
billiyard untuk mereka jatuhkan di lubang meja panjang yang hitam kelam?
Apa mereka sedang mengagumi
wanita-wanita tengah malam dan membeli mereka dengan beberapa botol anggur
paling mahal?
Apa mereka pernah merasakan
kelezatan ketela pohon yang direbus empuk sebagai santap malam paling istimewa?
Apa mereka pernah merasakan
kasarnya telapak tangan ayah dan ibu mereka yang habis-habisan mencari uang
untuk sekedar makan tiga kali sehari, untuk sekedar membayar uang sekolah yang
makin lama makin mahal ini?
Tidak baik menuduh mangsa. Aku berbicara
dengan diri sendiri. Jadi tidak usah ada yang tersinggung.
0 komentar:
Posting Komentar