Minggu, 21 September 2014

Angin, Jalanan Malam, Lampu Kendaraan dan Lampu Kota Jogja





Berguru pada langit dan musim-musim kering jaman dulu. Kelak akan aku bertahu, kenapa mimik wajah yang rindu bisa menyimpan sejuta rahasia. Buat apa aku kembali kepada kenyamanan disana, jika yang aku lihat hanyalah nada-nada meninggi dan saling meneriaki. Buat apa?

Buat apa aku menjadi tulang jika yang dikehendaki Tuhan aku menjadi gelas kaca yang siap mereka pecahkan untuk melukai satu sama lain. Bisik-bisik menertawakanku dalam diam, aku sakit tak menghiraukan kata-kata Tuhan. Sebenarnya apa yang dunia inginkan? Segelas tawa? Secangkir kopi pahit? Secarik kemurkaan? Segenggam keabadian? Bias-bias senja tak lagi mengiringiku dalam bahagia. Bukan berarti aku orang yang tidak bahagia, hanya saja tabu memikirkan apa yang akan aku alami selanjutnya tanpa berbuat apa-apa. Aku terlalu sering mengigau dan mengagumi mimpi sampai aku lupa pada bayang-bayang yang kuinjak sendirian.

Jika kau letakkan di bawah, maka tempat orang adalah kesakitanmu. Jika kau letakkan di atas, maka tempat orang adalah kebahagiaanmu. Jika satu tambah satu samadengan dua, aku pernah membiarkannya beranak-pinak menjadi jawaban-jawaban indah lainnya. Otakku tidak berhenti di kata-kata yang jelas, dia hanya membantu mengeluarkan isi hati yang tidak karuan bentuknya ini. Demi sebuah pertanyaan kenapa.

Mendung sekali langit malam ini. Meskipun gelap, toh aku masih bisa merasakannya juga. Sama seperti Tuhan. Meskipun tak terlihat, toh aku masih bisa merasakan-Nya juga.
Sesekali aku menengok langit. Tapi tak ada yang lebih berarti daripada membayangkan wajahmu tenggelam di sana bersama kumpulan bintang-bintang yang berbinar. Oh Tuhan, September hendak berakhir tapi aku masih belum juga bisa melihat kunang-kunang yang ku kagumi.

Jalanan malam. Jalanan malam yang kubenci.
Aku seperti cacing yang kepanasan. Ini rindu atau ini benci. Aku cemburu dan aku perasa. Segalanya berbaur dan aku menyelami perasaan melalui syair yang aku teriakkan penuh-penuh dalam emosi saat berkendara membelah jalanan malam kota Jogja. Aku pusing memikirkan pertanyaan kenapa. Kenapa kenapa kenapa dan kenapa. Kenapa?

Aku senang melihat wajah mereka. Alasanku maju atau mati tak sempurna. Alasanku melaju atau diam tak berdaya. Aku senang mencium kedua tangan mereka, mengucapkan salam dan saling mendoakan satu sama lain. Aku anak dan mereka orang tua. Aku sayang dan mereka menyayangi. 

Aku betah dan mereka curiga aku lebih menyayangi mereka daripada diriku sendiri.
Biar malam tetap penuh cahaya.
Mana ada hal yang perlu ditakuti lagi? Mereka di sana bukannya selalu mendoakan yang terbaik?

Bisakan bicara tentang hal lain saja? Misalnya tentang pertanyaan kenapa itu tadi.
Kenapa?



Kuberitahukan sesuatu, banyak hal menuntuk untuk mengerti tapi banyak hal semakin membuat kita untuk mengerti. Tau kan? Alam kan selalu tak sejalan dengan pemikiran kita. Dan bukannya terang, gang panjang menuju tempat keluar semakin gelap saja.


Aku galau.


Pertanyaanku tak terjawab dan aku harus lebih sabar menunggu waktu?

Padahal waktu yang ditunggu semakin jauh meninggalkan.

Apa aku terlalu meninggi hingga harus selalu merendah dihadapan kekalutan?

Apa aku terlalu rendah hingga harus meninggi ketika bertemu kenyataan?

Sekarang tiba-tiba terlintas pemikiran konyol yang menelanjangi akal untuk mengatakan hal yang pertama kali aku pendam dalam kepada dia yang tak pernah mengerti asal usul perasaan ini, kenapa ada.

Apakah engkau yang ditunjuk Tuhan untuk merubah kondisi ini? ketakutanku?
Aku Jawa, aku begini dan aku seperti ini. Apa masuk akan jika engkau menaruh perasaan yang sama?
Jika saja bisa ingin aku muntahkan perasaan ini menjadi bentuk kasat mata. Dan kutunjukkan kepadamu betapa tidak berbentuknya hati, lidah dan pikiranku ketika mereka bertemu dan berbenturan dengan nama.....




Namamu. 

0 komentar:

Posting Komentar