Berguru pada langit dan musim-musim kering jaman dulu. Kelak
akan aku bertahu, kenapa mimik wajah yang rindu bisa menyimpan sejuta rahasia. Buat
apa aku kembali kepada kenyamanan disana, jika yang aku lihat hanyalah
nada-nada meninggi dan saling meneriaki. Buat apa?
Buat apa aku menjadi tulang jika yang dikehendaki Tuhan aku
menjadi gelas kaca yang siap mereka pecahkan untuk melukai satu sama lain. Bisik-bisik
menertawakanku dalam diam, aku sakit tak menghiraukan kata-kata Tuhan. Sebenarnya
apa yang dunia inginkan? Segelas tawa? Secangkir kopi pahit? Secarik kemurkaan?
Segenggam keabadian? Bias-bias senja tak lagi mengiringiku dalam bahagia. Bukan
berarti aku orang yang tidak bahagia, hanya saja tabu memikirkan apa yang akan
aku alami selanjutnya tanpa berbuat apa-apa. Aku terlalu sering mengigau dan
mengagumi mimpi sampai aku lupa pada bayang-bayang yang kuinjak sendirian.
Jika kau letakkan di bawah, maka tempat orang adalah kesakitanmu.
Jika kau letakkan di atas, maka tempat orang adalah kebahagiaanmu. Jika satu
tambah satu samadengan dua, aku pernah membiarkannya beranak-pinak menjadi
jawaban-jawaban indah lainnya. Otakku tidak berhenti di kata-kata yang jelas,
dia hanya membantu mengeluarkan isi hati yang tidak karuan bentuknya ini. Demi
sebuah pertanyaan kenapa.
Mendung sekali langit malam ini. Meskipun gelap, toh aku
masih bisa merasakannya juga. Sama seperti Tuhan. Meskipun tak terlihat, toh
aku masih bisa merasakan-Nya juga.
Sesekali aku menengok langit. Tapi tak ada yang lebih
berarti daripada membayangkan wajahmu tenggelam di sana bersama kumpulan
bintang-bintang yang berbinar. Oh Tuhan, September hendak berakhir tapi aku
masih belum juga bisa melihat kunang-kunang yang ku kagumi.
Jalanan malam. Jalanan malam yang kubenci.
Aku seperti cacing yang kepanasan. Ini rindu atau ini benci.
Aku cemburu dan aku perasa. Segalanya berbaur dan aku menyelami perasaan
melalui syair yang aku teriakkan penuh-penuh dalam emosi saat berkendara
membelah jalanan malam kota Jogja. Aku pusing memikirkan pertanyaan kenapa. Kenapa
kenapa kenapa dan kenapa. Kenapa?
Aku senang melihat wajah mereka. Alasanku maju atau mati tak
sempurna. Alasanku melaju atau diam tak berdaya. Aku senang mencium kedua
tangan mereka, mengucapkan salam dan saling mendoakan satu sama lain. Aku anak
dan mereka orang tua. Aku sayang dan mereka menyayangi.
Aku betah dan mereka
curiga aku lebih menyayangi mereka daripada diriku sendiri.
Biar malam tetap penuh cahaya.
Mana ada hal yang perlu ditakuti lagi? Mereka di sana bukannya
selalu mendoakan yang terbaik?
Bisakan bicara tentang hal lain saja? Misalnya tentang
pertanyaan kenapa itu tadi.
Kenapa?
Kuberitahukan sesuatu, banyak hal menuntuk untuk mengerti
tapi banyak hal semakin membuat kita untuk mengerti. Tau kan? Alam kan selalu
tak sejalan dengan pemikiran kita. Dan bukannya terang, gang panjang menuju
tempat keluar semakin gelap saja.
Aku galau.
Pertanyaanku tak terjawab dan aku harus lebih sabar menunggu
waktu?
Padahal waktu yang ditunggu semakin jauh meninggalkan.
Apa aku terlalu meninggi hingga harus selalu merendah
dihadapan kekalutan?
Apa aku terlalu rendah hingga harus meninggi ketika bertemu
kenyataan?
Sekarang tiba-tiba terlintas pemikiran konyol yang
menelanjangi akal untuk mengatakan hal yang pertama kali aku pendam dalam
kepada dia yang tak pernah mengerti asal usul perasaan ini, kenapa ada.
Apakah engkau yang ditunjuk Tuhan untuk merubah kondisi ini?
ketakutanku?
Aku Jawa, aku begini dan aku seperti ini. Apa masuk akan
jika engkau menaruh perasaan yang sama?
Jika saja bisa ingin aku muntahkan perasaan ini menjadi
bentuk kasat mata. Dan kutunjukkan kepadamu betapa tidak berbentuknya hati,
lidah dan pikiranku ketika mereka bertemu dan berbenturan dengan nama.....
Namamu.
0 komentar:
Posting Komentar