Stars

Bintang adalah nama lain dari keindahan. Bagi siapa yang menguping pada angin yang berbisik takdir kepada sang langit, maka ia akan tahu rahasia besar bintang. Sebagai obat rindu.

Moon

Bulan adalah lambang kesetiaan. Sama seperti bintang ketika mengitari. Ia tak pernah ingkar janji dan akan selalu beredar. Sayang, kadang remang, kadang bersinar terang sekali. Kadang bulat utuh, kadang sabit sekali. Waktu adalah nyali keutuhan. Dimana dia berlindung, disana rahasia hati mengitari.

Rain

Hujan adalah rahasia besar. Tidak ada yang tahu kapan akan tiba dan kapan akan berhenti. Apakah datangya mengundang gemuruh langit atau hanya menyusuri lembut kulit. Tapi kesakitan hujan dapat membuat rindu menyeruak. Tak akan ada yang bisa menolongmu. Selain naungan tinggi dari Sang Maha.

Metamorfose

Kita adalah hasil dari metamorfose. Hanya kita yang tahu, siapa dan apa saja yang terlibat dalam proses pendewasaan diri kita masing-masing. Bagian dari Rahasia.

Ocean

Tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam sana. Entah arus yang mematikan atau ikan-ikan menakjubkan yang tenang berenang.

Rabu, 19 November 2014

P e r t a n y a a n



Bukannya telah jelas?
Apa dan bagaimana itu tidak mungkin kenapa.
Kapan dimana menjadi apa, dan kapan apa menjadi bagaimana..
Ini sekali lagi, bukan lagi soal karena.
Serahkan kemelut keraguan dari yang bukan apa-apa, menjadi sah untuk diliputi rasa aman.
Mulai dari hal yang sederhana saja,
Misalnya menjawab pertanyaan besar, mengapa.


Jika mereka bertanya siapa surga dibalik surga, maka khalifah yang membela mulut sambil menarik ujung rambut akar dari dalam bumi lah yang tak hirau ketika harus memantaskan diri dan masuk melalui celah-celah.

Bagaimanapun, apa yang setelah pertanyaan mengapa tidak bisa menjawab dimana dan kapan akan menjadi “Yang mana?”
Sesudahnya, kami sudah tidak akan ada apa-apa lagi. Sesudahnya, demi diri otak ini akan kembali bekerja menyusun konsep.

Sejak banyak orang mempertanyakan sajak yang tak beraturan
Orang-orang dengan membawa kayu bakar pergi ke tengah untuk menyalakan kehangatan
Orang-orang itu pemilih, terbukti dari cara mereka menyusun formasi kayu. Paling kuat diletakkan di tengah, paling rentang diletakkan di atas. Mereka mengusung satu-satu dan meninggalkan yang basah sendirian. Karna kayu yang basah, tidak bisa menimbulkan api.

Hingga sebagian besar dari ketakutan yang paling memikat menyeruak. Ubun-ubun seperti sehabis ditempeleng botol soda dan menimbulkan luka lainnya dari dalam organ hati yang kusam.
Semakin banyak orang yang bertanya, semakin banyak penjelasan. Penjelasan menyebar ke permukaan. Hingga air yang ditawarkan tak menjadi solusi kecemasan, akan tetapi buntut dari segala kecemasan.
Dimana kata Tuhan, Surga diletakkan?
Bukannya dibawah kaki beribu, dan ibu yang berkaki?
Dimana kata Tuhan, keikhlasan diletakkan?
Bukannya dibawah ketiak yang selalu menyeimbangkan suhu badan?
Dimana kata Tuhan, kerinduan dilabuhkan?
Bukannya melingkar di jari manisnya?

Kata bumi, dia mengenang alam dan proses terjadinya.
Aku maunya tak percaya, tapi singgasana melimpahkan air rasa penuh jawaban dari segala.. kesempatan yang tertinggal, ketakutan, kesendirian, kekalutan, kerinduan, kebermaknaan dan keterasingan.

Aku maunya tak percaya, tapi langit memproyeksikan jawaban lewat gulungan awan yang membentuk sederet pernyataan.

Aku hampir-hampir rindu, lagi,
Tapi meski dimana akan berupaya menjadi kapan.
Meskipun, apa yang diidam-idamkan merawat diri untuk membuntuti bagaimana,
Akan selalu ada kenapa yang terjawab mulus. Menyebar ke permukaan rasa.


Rabu, 12 November 2014

Hujan Pertama di Bulan November




Merembes akar hijau dedaunan yang tadinya—hembuskan angin semilir

Teramat detail lirik-lirik ini kusampaikan
Juta kali memangsa lamunanmu dijauh sana tapi tetap tak temukan aku—kau datang dengan siapapun yang melewatimu
Melaluimu sekilas
Mengabadikanmu selamanya

Pelan, rindu ini bukan lagi memenuhi.. membuncah ke permukaan. Sampai tak ada lagi ruang, sampai-sampai kejatuhcintaanku tidak ada maknanya lagi.
Hingga tiada hingga
Tanda baca yang kubuat untuk mengakhiri kalimat juga tidak bermakna
Hati-hati dengan kerumunan hujan
Mereka melaju memukul dan mengelabuhi mereka-mereka yang duduk dilatar-latar rumah, menikmati derasnya

Hujan menantang sesiapa yang dengan angkuhnya mematik api rindu
Kemudian menyuruh mereka maju satu-satu
Jika mereka datang sendirian, gelegar petir kan menyambut dan meruntuhkan ketangguhan yang mereka banggakan padahal palsu

Sudahlah wanita, yang dengan segala kelemahannya bertahan ditengah dingin
Sudahlah wanita, yang dengan segala kebingungannya mencari tanda disesatkan oleh arah mata angin yang tak menentu

Ini kemarau kemarau lugu
Ini penghujan yang terlalu syahdu
Bahkan untuk terpenggal dengan syair rindu

Bahkan untuk tertidur dan menghilangkanmu dari mimpiku

Jumat, 07 November 2014

Dengungan Rasa


Gambar: Kaskus.co.id


Setidaknya ada niatan untuk menunggu
Tak apa walau payah aku memimpikan nyali mu
Tak apa walau kelu rasanya menjatuhi hariku dengan rindu

Sekenal-kenalnya makhluk dengan Tuhan
Keistimewaan esok adalah hal yang jatuh lebih mulia dari pada kekecewaan yang terpelihara perasaan suci dan dalam.
Berikan satu kali lagi kesempatan untuk melihat, tidak hanya sentuhan malam, tetapi juga kelembutan pagi
Dingin dan mengharu biru

Satu dua kali ujian tidak apa. Sungguh nyawa makhluk-Mu ini adalah bukan apa-apa.
Dibandingkan dengan jutaan wajah yang tersapu debu jalanan gegara dilucuti untuk mencari uang tetapi bukan untuk mengisi perutnya dengan nasi. Jutaan wajah itu menengadahkan tangan bukan untuk mengisi pundi-pundi rupiah demi sekolah. Jutaan wajah itu dilucuti oleh orang yang tak pernah memimpikan untuk bertemu Tuhan.
Tak punya moral humanistik. Jauh lebih bandit daripada penguntit gepok rupiah dari laci kesejahteraan rakyat. Tapi kebanyakan orang lebih berteriak kepada kesengajaan yang ditonjolkan di muka umum. Lebih hina daripada anjing jalanan yang kencing di sembarang wajah.

Satu dua juta kali kegagalan tidak apa, sungguh.
Benar nyawa makhluk-Mu ini adalah butiran nafsu.
Harapan mana bisa dibedakan dengan ambisi dan obsesi. Sekali dayung ingin tiga empat pulau terlampaui. Tapi, ini sungguh bukan dunia jika banyak orang menyatakan “hidup selurus-lurusnya, mati tanpa membawa apa-apa”
Lebih mudah melihat kesukaran pada diri sendiri, daripada memelototkan mata ke arah yang lebih rendah.
Merasa diri paling payah, menderita takdir buruk yang teramat menyiksa.
Lalu kita lupa sesiapa yang masih berpayung pada rumah kardus di bawah jembatan? Sesiapa yang masih luntang luntung kelaparan?
Kau pikir makhluk Tuhan itu hanya ada dalam dongeng yang melambung dengan ending yang bahagia?
Lama tak bersua dengan ajaibnya tangan Tuhan. Semoga menyentuh mereka-mereka yang butuh hidayah.
Lama tak bersua dengan janji-janji kemuliaan. Semoga kesejahteraan atas mereka sekalian.
Limpahan karunia tak terkira yang membuat kita berpikir.
Ah, ternyata ini bukan ujian. Ini bukan apa-apa.
Bukan Tuhan mengadzab, bukan Tuhan tak suka dengan kita.
Ini cara Dia mengajari kita, untuk bersyukur.

Dalam kemelut kabut menyesakkan dada. Doa-doa kaum terhasut tak menjadikanmu lebih terlihat buruk.
Dalam kalut mata-mata mengairi raga dengan kisah sedih tak tertahankan.
Mulut yang bungkam sebentar lagi akan berteriak. Muka yang berpaling sebentar lagi akan menghadap. Napas yang serius menjalar, sebentar lagi akan berhenti tanpa paksa.
Dan kemudian jika sudah tidak ada lagi kemudian..
Impianmu sudah bukan apa-apa lagi Pit.
Ujianmu bukan tentang yang paling diminta Tuhan lagi.
Hanya jika kita tidak mengerti tata bahasa kita bisa saling memahami lewat rasa.
Dan begitulah Tuhan memberikan isyarat tak berbatas.