Jumat, 14 Februari 2014

Kelabu Menutupi

Dedaunan kelabu,
entah seberapa kental lagi debu-debu ini menutupi jalan.
Memar sungai kali dan jalanan sawah. Tidak terlihat lagi hijau disana.
Aku menetap dengan keyakinan yang kuat, bahwa Tuhan sedang membersihkan kita lewat ini.

Perasaanku layaknya debu-debu yang berhamburan itu.
Menutupi mata,
mememarkan jantung otak dan hati. Tidak nampak apa-apa dari luar. Tertutupi.
Aku menetap dengan keyakinan yang kuat, bahwa Tuhan sedang membersihkan hatiku lewat perasaan ini.

Aku mengungkapkan perasaanku hari ini...

Bukan. Bukan padamu.
Pada wanita yang sejak lama menyentuh hatiku, Ibu.

Aku bilang pada beliau, bahwa aku memimpikanmu.
Menjadi imamku.
Aku paham betul bagaimana ekspresi ibu yang kaget karna ini pertama kalinya aku membicarakan masalah seserius ini kepadanya.

Tercamkan jelas di otakku..
"Suku apapun dia, mencintai adalah hak mu. Sekarang tinggal bagaimana dia. Kalau dia merespon, maka pertahankanlah perasaan ini. Kalau dia tidak, maka berhentilah berharap. Ibu mu tidak mau anaknya terluka hatinya. Jangan sekali-kali menyatakan perasaanmu ini padanya, meskipun kamu sangat ingin".

Urusanku tidak sesederhana ini bu, aku memaklumi hatiku yang bergejolak karena rindu.
Aku mentaati hatiku yang menahan kesal karena cemburu.
Aku melalui kekecewan yang menopang punggung ini pada tahun-tahun terberatku,
dan menemukannya dihadapanku..
lalu apakah aku benar-benar harus berhenti ketika dia tidak memberikan respon apapun bu?

Aku hanya bergelut dengan pikiranku sendiri.
Sementara hatiku mencari celah untuk keluar dari keadaan ini.

Aku memaksa waktu untuk memacuku lebih cepat.
Aku meminta Tuhan mengirimkan hujan yang lebat, untuk membersihkan jalanan yang berdebu ini.
Aku meminta Tuhan mengirimkan hujan yang lebat, untuk menghapus jejakmu.
Perasaan yang jatuh dan mencederai.

Aku terjebak pada batasanku dan dia.
Aku lupa berada dimana aku dan siapa dia.

Aku berhak mencintai mu. Tapi tidak untuk mengulang takdir kekecewaan. 




0 komentar:

Posting Komentar