Selasa, 12 Agustus 2014

Langit Berjarak dengan Bumi Berpijak






Hari ini aku menyadari sesuatu.

Waktu begitu cepat meninggalkan kita yang tidak mau momen segera berakhir. Waktu begitu angkuh dan tak sabar melaju hingga dia meninggalkan wajah-wajah kelelahan kita dan menjauh setiap detiknya.

Tik. Tak. Tik. Tak. Tik. Tak.

Denting, dentang jarum jam dinding menelusuh keji, merasuki otak yang tak karuan bentuknya ini. Aku selalu punya janji dengan-Mu ya Allah. Kita harus bertemu 5 waktu. Kau memberiku kelima waktu pribadi. Ketika aku sampai di satu waktu, aku ingin segera berlari ke waktu yang kedua. Begitu seterusnya hingga aku melewatkan lima waktu dan melalui hari-hari beratku.

Aku menyadari sesuatu..


Aku sibuk dengan dunia yang semakin buru-buru meninggalkanku. Usiaku 20, tahun ini. Menghitung hari, dan tepat di ulang tahunku yang ke-20 nanti, aku pasti akan bertanya-tanya, berapa sisa waktu yang kumiliki di dunia ini?

Tik. Tak. Tik. Tak. Tik. Tak.


Waktu berlari begitu cepat ketika udara segar seperti buru-buru ingin menelan.
Waktu berlalu begitu lambat ketika udara kotor seperti buru-buru menelantarkan.
Mesin seperti apa yang menggerakkan detik-detik jam sedunia dengan seragam, seirama dengan detak jantung?

Aku berada di ruang tunggu pasien, setelah seharian melihat sosok yang aku banggakan lemas tak berdaya.

Bagaimana bisa aku tahan dengan keadaan ini?

Baru saja Ibu sembuh dari sakitnya. Sekarang Ayah.




Asma.

Aku juga punya penyakit itu. Penyakit yang dibawa Ayah. Penderita Asma akan menurunkan penyakitnya kepada anak-anaknya. Dan ya. Aku mendapat itu dari Ayah.
Aku menemaninya menemui dokter. Dia berbaring di tempat tidur pasien dengan napas mengi. Dokter tanggap memasang alat bantu pernapasan. Hatiku dagdigdug luarbiasa. Aku menatap ke arah jam dinding yang suara detakannya jelas. Mengganggu. Dokter meminta Ayah dirujuk kerumah sakit. Tentu, Ayahku tak mau. Beliau memikirkan biayanya.

Kenapa aku merasakan detik yang begitu kuat menderma?

Dia kejam saat aku benar-benar merasa tidak ingin kehilangan.


Siapapun.



Aku memikirkan kenapa sehabis Ibu pasti Ayah? Kenapa sehabis Ayah pasti Ibu? Apa mereka begitu harus bersama? Bahkan dalam hal seperti ini?
Aku sadar mereka menua.
Aku tau mereka akan mati. Sama sepertiku.
Tapi aku tidak bisa menjamin, lebih dulu siapa diantara kami.
Aku ingin melihat mereka berdua hidup lebih lama. Sumpah mereka manusia terkuat yang pernah aku temui. Sungguh bukan karena mereka adalah orang tuaku.
Aku bukannya takut mati. Aku hanya takut kehilangan. Entah takut aku kehilangan atau takut kalian kehilangan.


Satu diantara kita pasti akan pergi lebih dulu. Dan yang bisa mempertemukan kita lagi adalah keabadian.

Kehidupan setelah kematian. Aku memanggilnya keabadian.

Aku tidak mau protes berapa dosa-dosa yang telah aku perbuat sejak aku dilahirkan. Aku tau aku dulu itu apa. Aku dulu itu siapa. Dan bagaimana aku berproses dengan sangat tidak mudah.

Jalan yang bukan hanya tersenggal-senggal tapi juga berbatu dan menukik tajam. Aku tidak tahu harus tetap dipersimpangan atau tentukan arah berdasarkan mata angin.
Aku belajar bertanya bilamana tersesat dijalan.

Satu dua orang tak memberiku arah yang tepat, hingga aku tercebur kedalam selokan yang menjijikan.

Aku berjarak dengan langit, bahkan bumi tempatku berpijak. Tapi tak satupun mereka menghardikku dengan cara menurunkan hukuman yang menurut beberapa orang mungkin akan menyakitkan. Aku dihukum dengan cara yang menurutku indah.

Aku sangat spontan menjawab takdir ketika dia memilihku untuk tetap berseteru dengan jarak langit dan bumi. Dan yang aku terima beribu juta kebaikan.

Betapa sakti anakmu ini Bu, Pak,

Banyak menoleh tapi tak banyak dilihat.

Banyak bersuara tapi hanya lewat tulisan.

Banyak didosa tapi punya cara kembali yang tepat.

Aku tidak tahu mau sampai kapan didunia yang hanya sementara ini.



Jika dari kalian ingin merasa akrab dengan waktu yang menolak untuk kembali pada sedetik yang ditinggalkan, maka..
Rasakanlah dentangnya..


Tik. Tak. Tik. Tak. Tik. Tak.


Bagaimana jika nantinya..

Cita-citaku hanya bisa aku peluk ketika aku telah—kembali?

Bagaimana jika nantinya..

Aku dan mereka tidak bisa bertemu di tempat yang semua orang ingin—menuju?
Entah karna aku yang tak pantas atau—aku tidak ingin mereka yang tidak pantas.

Murni menyusun batu-batu besar yang menghalangi jalan raya agar aku bisa membentengi diri dari serangan takdir tiba-tiba.. tapi aku tak bisa bertahan lebih lama dan bersekutu dengan detik bersyarat dalih-dalih keduniaan. Akhirnya aku rombak lagi dan benarkan seperti semula.


Lambat laun semua menjauh.

Detik menjauh. Hari semakin cepat.

Langit berkabut, gelap, dingin, Matahari kehabisan daya. Bulan menjauh beberapa senti 
dari Bumi. Bumi mengalami pemepatan ditengah hingga kutub Utara dan Selatan berdekatan.

Tau pertanda apa itu?

Dunia sudah dekat dengan hari akhir.


Bukan aku membicarakan kecemasanku pada mereka. Ini murni hal yang tidak aku rencanakan untuk dituliskan. Mengalir tiba-tiba dan menjengkelkan sekali karna pukul segini seharusnya aku telah mengistirahatkan seluruh tubuh.

Bukan juga aku membicarakan kebahagiaan yang selama ini orang-orang idamkan. Bahkan membayangkan saja aku telah merasa, bahkan apa yang selama ini berat untuk aku rasakan.

Bukan karna aku membicarakan langit dan bumi, dan bagaimana Tuhan memberikan jarak diantara keduanya. Karna banyak orang yang telah lebih dulu tahu, seberapa akrabnya dunia dan akhirat itu.

Bahkan aku selalu terbayang sangkakala malaikat yang tak disangka begitu dahsyatnya, sampai kita tak sadar kalau kita ternyata selama ini tinggal didalamnya.

Adab turun dengan hati getir dan gelak canda kini menjadi butir introspeksi.
Remang memburuku dalam diam dan renungan panjang menyangkupi.
Aku ambil saksi dalam tiap teriakan detik.
Gelora ini bukan tentan asa cinta benci dan perasaan lain yang meliputi.
Hanya satu alasan yang tak ingin aku jadikan alasan untuk terus dan kenapa tidak berhenti.



Mereka.

Ayah, Ibu. Aku menyayangimu. Sepenuh-ah

bahkan aku tidak tau sepenuh apa.

0 komentar:

Posting Komentar