Stars

Bintang adalah nama lain dari keindahan. Bagi siapa yang menguping pada angin yang berbisik takdir kepada sang langit, maka ia akan tahu rahasia besar bintang. Sebagai obat rindu.

Moon

Bulan adalah lambang kesetiaan. Sama seperti bintang ketika mengitari. Ia tak pernah ingkar janji dan akan selalu beredar. Sayang, kadang remang, kadang bersinar terang sekali. Kadang bulat utuh, kadang sabit sekali. Waktu adalah nyali keutuhan. Dimana dia berlindung, disana rahasia hati mengitari.

Rain

Hujan adalah rahasia besar. Tidak ada yang tahu kapan akan tiba dan kapan akan berhenti. Apakah datangya mengundang gemuruh langit atau hanya menyusuri lembut kulit. Tapi kesakitan hujan dapat membuat rindu menyeruak. Tak akan ada yang bisa menolongmu. Selain naungan tinggi dari Sang Maha.

Metamorfose

Kita adalah hasil dari metamorfose. Hanya kita yang tahu, siapa dan apa saja yang terlibat dalam proses pendewasaan diri kita masing-masing. Bagian dari Rahasia.

Ocean

Tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam sana. Entah arus yang mematikan atau ikan-ikan menakjubkan yang tenang berenang.

Rabu, 19 November 2014

P e r t a n y a a n



Bukannya telah jelas?
Apa dan bagaimana itu tidak mungkin kenapa.
Kapan dimana menjadi apa, dan kapan apa menjadi bagaimana..
Ini sekali lagi, bukan lagi soal karena.
Serahkan kemelut keraguan dari yang bukan apa-apa, menjadi sah untuk diliputi rasa aman.
Mulai dari hal yang sederhana saja,
Misalnya menjawab pertanyaan besar, mengapa.


Jika mereka bertanya siapa surga dibalik surga, maka khalifah yang membela mulut sambil menarik ujung rambut akar dari dalam bumi lah yang tak hirau ketika harus memantaskan diri dan masuk melalui celah-celah.

Bagaimanapun, apa yang setelah pertanyaan mengapa tidak bisa menjawab dimana dan kapan akan menjadi “Yang mana?”
Sesudahnya, kami sudah tidak akan ada apa-apa lagi. Sesudahnya, demi diri otak ini akan kembali bekerja menyusun konsep.

Sejak banyak orang mempertanyakan sajak yang tak beraturan
Orang-orang dengan membawa kayu bakar pergi ke tengah untuk menyalakan kehangatan
Orang-orang itu pemilih, terbukti dari cara mereka menyusun formasi kayu. Paling kuat diletakkan di tengah, paling rentang diletakkan di atas. Mereka mengusung satu-satu dan meninggalkan yang basah sendirian. Karna kayu yang basah, tidak bisa menimbulkan api.

Hingga sebagian besar dari ketakutan yang paling memikat menyeruak. Ubun-ubun seperti sehabis ditempeleng botol soda dan menimbulkan luka lainnya dari dalam organ hati yang kusam.
Semakin banyak orang yang bertanya, semakin banyak penjelasan. Penjelasan menyebar ke permukaan. Hingga air yang ditawarkan tak menjadi solusi kecemasan, akan tetapi buntut dari segala kecemasan.
Dimana kata Tuhan, Surga diletakkan?
Bukannya dibawah kaki beribu, dan ibu yang berkaki?
Dimana kata Tuhan, keikhlasan diletakkan?
Bukannya dibawah ketiak yang selalu menyeimbangkan suhu badan?
Dimana kata Tuhan, kerinduan dilabuhkan?
Bukannya melingkar di jari manisnya?

Kata bumi, dia mengenang alam dan proses terjadinya.
Aku maunya tak percaya, tapi singgasana melimpahkan air rasa penuh jawaban dari segala.. kesempatan yang tertinggal, ketakutan, kesendirian, kekalutan, kerinduan, kebermaknaan dan keterasingan.

Aku maunya tak percaya, tapi langit memproyeksikan jawaban lewat gulungan awan yang membentuk sederet pernyataan.

Aku hampir-hampir rindu, lagi,
Tapi meski dimana akan berupaya menjadi kapan.
Meskipun, apa yang diidam-idamkan merawat diri untuk membuntuti bagaimana,
Akan selalu ada kenapa yang terjawab mulus. Menyebar ke permukaan rasa.


Rabu, 12 November 2014

Hujan Pertama di Bulan November




Merembes akar hijau dedaunan yang tadinya—hembuskan angin semilir

Teramat detail lirik-lirik ini kusampaikan
Juta kali memangsa lamunanmu dijauh sana tapi tetap tak temukan aku—kau datang dengan siapapun yang melewatimu
Melaluimu sekilas
Mengabadikanmu selamanya

Pelan, rindu ini bukan lagi memenuhi.. membuncah ke permukaan. Sampai tak ada lagi ruang, sampai-sampai kejatuhcintaanku tidak ada maknanya lagi.
Hingga tiada hingga
Tanda baca yang kubuat untuk mengakhiri kalimat juga tidak bermakna
Hati-hati dengan kerumunan hujan
Mereka melaju memukul dan mengelabuhi mereka-mereka yang duduk dilatar-latar rumah, menikmati derasnya

Hujan menantang sesiapa yang dengan angkuhnya mematik api rindu
Kemudian menyuruh mereka maju satu-satu
Jika mereka datang sendirian, gelegar petir kan menyambut dan meruntuhkan ketangguhan yang mereka banggakan padahal palsu

Sudahlah wanita, yang dengan segala kelemahannya bertahan ditengah dingin
Sudahlah wanita, yang dengan segala kebingungannya mencari tanda disesatkan oleh arah mata angin yang tak menentu

Ini kemarau kemarau lugu
Ini penghujan yang terlalu syahdu
Bahkan untuk terpenggal dengan syair rindu

Bahkan untuk tertidur dan menghilangkanmu dari mimpiku

Jumat, 07 November 2014

Dengungan Rasa


Gambar: Kaskus.co.id


Setidaknya ada niatan untuk menunggu
Tak apa walau payah aku memimpikan nyali mu
Tak apa walau kelu rasanya menjatuhi hariku dengan rindu

Sekenal-kenalnya makhluk dengan Tuhan
Keistimewaan esok adalah hal yang jatuh lebih mulia dari pada kekecewaan yang terpelihara perasaan suci dan dalam.
Berikan satu kali lagi kesempatan untuk melihat, tidak hanya sentuhan malam, tetapi juga kelembutan pagi
Dingin dan mengharu biru

Satu dua kali ujian tidak apa. Sungguh nyawa makhluk-Mu ini adalah bukan apa-apa.
Dibandingkan dengan jutaan wajah yang tersapu debu jalanan gegara dilucuti untuk mencari uang tetapi bukan untuk mengisi perutnya dengan nasi. Jutaan wajah itu menengadahkan tangan bukan untuk mengisi pundi-pundi rupiah demi sekolah. Jutaan wajah itu dilucuti oleh orang yang tak pernah memimpikan untuk bertemu Tuhan.
Tak punya moral humanistik. Jauh lebih bandit daripada penguntit gepok rupiah dari laci kesejahteraan rakyat. Tapi kebanyakan orang lebih berteriak kepada kesengajaan yang ditonjolkan di muka umum. Lebih hina daripada anjing jalanan yang kencing di sembarang wajah.

Satu dua juta kali kegagalan tidak apa, sungguh.
Benar nyawa makhluk-Mu ini adalah butiran nafsu.
Harapan mana bisa dibedakan dengan ambisi dan obsesi. Sekali dayung ingin tiga empat pulau terlampaui. Tapi, ini sungguh bukan dunia jika banyak orang menyatakan “hidup selurus-lurusnya, mati tanpa membawa apa-apa”
Lebih mudah melihat kesukaran pada diri sendiri, daripada memelototkan mata ke arah yang lebih rendah.
Merasa diri paling payah, menderita takdir buruk yang teramat menyiksa.
Lalu kita lupa sesiapa yang masih berpayung pada rumah kardus di bawah jembatan? Sesiapa yang masih luntang luntung kelaparan?
Kau pikir makhluk Tuhan itu hanya ada dalam dongeng yang melambung dengan ending yang bahagia?
Lama tak bersua dengan ajaibnya tangan Tuhan. Semoga menyentuh mereka-mereka yang butuh hidayah.
Lama tak bersua dengan janji-janji kemuliaan. Semoga kesejahteraan atas mereka sekalian.
Limpahan karunia tak terkira yang membuat kita berpikir.
Ah, ternyata ini bukan ujian. Ini bukan apa-apa.
Bukan Tuhan mengadzab, bukan Tuhan tak suka dengan kita.
Ini cara Dia mengajari kita, untuk bersyukur.

Dalam kemelut kabut menyesakkan dada. Doa-doa kaum terhasut tak menjadikanmu lebih terlihat buruk.
Dalam kalut mata-mata mengairi raga dengan kisah sedih tak tertahankan.
Mulut yang bungkam sebentar lagi akan berteriak. Muka yang berpaling sebentar lagi akan menghadap. Napas yang serius menjalar, sebentar lagi akan berhenti tanpa paksa.
Dan kemudian jika sudah tidak ada lagi kemudian..
Impianmu sudah bukan apa-apa lagi Pit.
Ujianmu bukan tentang yang paling diminta Tuhan lagi.
Hanya jika kita tidak mengerti tata bahasa kita bisa saling memahami lewat rasa.
Dan begitulah Tuhan memberikan isyarat tak berbatas.



Kamis, 09 Oktober 2014

Gerhana Bul(k)an


Sumber foto: lipsus.kompas.com


Jejak-jejak meninggalkan mereka yang mulai berkutat dengan hari-hari sore
Aku ramah menyambut sesiapa yang datang, meski dalam keadaan hujan
Aku juga yang akan memasang lilin-lilin kecil agar suasana tercipta romantis dan menaruh kesan

Aku adil dengan semua yang aku minta pada takdir
Bukannya mauku, adalah mau-Nya juga?
Bukankah apabila aku ingin, Dia akan selalu mendengar?

Aku hampir tak punya protes pada waktu
Tapi karena menunggu adalah bagian terpenting dalam hidup, maka
Jengah jauh dari kamus hidupku

Aku lelah seharian berada di gedung megah dan hangat
Menyusuri tiap lorongnya lumayan menguras tenaga juga
Saat detik-detik telah meninggalkan
Aku selalu memasang harapan dan tersenyum.. untuk mereka yang siap menggantikan
Untuk mereka yang siaga dengan perbedaan

Meski aku menangis melihat cerminan diri
Akhirnya aku memasang mata dan tersenyum bahagia,
Karna kita kedatangan tamu yang sangat istimewa,
Para penebar kebahagiaan itu sendiri

Mendebarkan

Aku asli bukan sutradara dan pemilik kehidupan
Bukan pula yang menentukan naskah cerita
Melihat mereka seolah aku melihat kehidupan
Dan mereka menambah keyakinanku akan kuasa Tuhan Yang Maha Maha

Jejak-jejak yang kebingungan arah setelah lepas tangan
Akan menempuh perjalanan yang sesungguhnya
Bukan terpaku pada rutinitas yang memusingkan lagi
Jejak-jejak yang kebingungan akan menaruh tasnya dikursi-kursi kampus yang sejak lama ditinggalkan

Aku tidak punya apa-apa untuk ditinggalkan
Sedihku adalah jika aku tak mampu berguna
Bahagiaku adalah melihat kalian mempunyai barisan yang kuat dan menyala nyata

Aku tidak tahu akan melihat perpecahan atau justru nanti kalian akan dipersatukan
Bukan Tuhan namanya jika tak punya garis yang disembunyikan
Manusia seperti kita hanya sebatas menduga dan berprasangka
Sedang Tuhan akan menuruti apa yang menjadi prasangka kita

Aku nyala dan rembulan adalah keindahan
Aku suka warna khasnya gerhana dan syahdu malam yang menerkam
Aku lingkar hitam yang menyusur lalu pergi meninggalkan bekas bayangan
Aku ramai tapi sebenarnya sepi

Ini pesan yang aku ingin utarakan kepada kalian,

Beberapa hari ini mataku mengamati, daun telingaku menangkap suara dari bunyi yang terkecil hingga yang terkeras, aku mati-matian menyelinap dalam tawa-tawa kalian. Dan akhirnya mendapatkan kabar gembira bahwa, kalian yang menuruti jejak kepergian akan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga daripada emas, yaitu rasa “berharga” itu sendiri.
Jika dalam waktu dekat ini, aku tidak terlihat bermanfaat,
Maka aku ingatkan lagi perjalanan masa lalu. Ketika semua berkumpul dan menyebut namaku berkali-kali. Aku tidak suka. Benar-benar tidak suka. Banyak yang lebih pantas menyematkan namanya. Kalianlah yang memilih, aku hanya menuruti persangkaan kalian, dan apa yang paling kalian sering pikirkan tentang aku ini.

Jika boleh jujur, aku tidak pernah lelah, meski mata kalian menangkap kerutan dan garis tawa yang turun.

Amanah tidak pernah salah memilih pundak. Terserah mata memandang garis lebih lurus atau menuruti emosi dan dugaan yang tak memperbaiki maksud. Aku lebih suka diam dan canggung jika menyapa kebodohan, daripada berpura-pura suka, padahal saling memakan yang lain itu menyakitkan.

Setidaknya di dunia ini tersedia banyak pilihan. Aku tidak tahu kapan bulan memangsa malam lagi, hingga terjadi gerhana. Aku juga tidak tahu kapan bintang muncul dan tak bersembunyi terus seperti ini.

Biasanya ketakutanku adalah jelmaan dari apa yang akan terjadi dimasa depan. Maka jika aku tetap bertahan dengan ketakutan, aku mendapatkannya di masa depan. Jika aku tinggalkan ketakutan dan menguburnya dalam, aku mendapatkan keromantisan gerhana bulan.

Lain kali, ijinkan waktu membersamai kita dalam tawa kebahagiaan. Berada diatas angin, duduk bersila dan tertawa-tawa, kita merangkai kata seadanya, saling berhambur, saling memeluk. Mencipta kebahagiaan yang telah lama kita impikan, bertukar cerita tentang mimpi-mimpi. Menghadap langit dan melihat rembulan dimangsa malam. Lalu kita melakukan sholat sunnah bersama. Saling menatap dan mencium keheningan.

Aku akan berkata aku menyayangi segala hal yang menempatkanku pada aku di masa ini. Bukan di masa lalu, bukan di masa yang hendak datang.
Aku akan berkata aku menyayangi segala wajah yang kurindui, dan membersamai keheningan, hingga masaku menunggu,


Telah habis.


Minggu, 05 Oktober 2014

Ku ambil, ku hilangkan



Sebenarnya aku ini apa?
Titik yang tak terlihat?
Atau
Pecahan kaca yang berceceran.

Ya, bukan aku yang memegang kalian. Bukan aku yang mempunyai hak untuk bertutur lebih banyak. Setidaknya aku berpikir untuk kalian.
Terdengar muluk?
Terdengar bijak?
Kau tau saja aku paling pintar membual.
Hanya yang tak pernah kau tau,

Aku selalu serius memegang komitmen, yang biasa kau sebut prinsip.

Aku punya kabar bahagia, yang biasanya akan aku bagi bersama nama teman yang kupanggil sahabat. Tapi ya, bagaimana lagi.
Kabar bahagia itu akhirnya kutelan sendiri. Biarlah. Jangan tanya apa aku baik-baik saja. Kau tau aku tak akan pernah baik-baik saja.

Aku bukan pencari muka yang ulung,
Tidak pandai bertutur luhur.
Tidak pandai merangkai kata romantis untuk diungkap.
Tidak pandai mengekspresikan perasaan.
Jika aku cinta mungkin kelihatannya aku membenci.
Jika aku peduli mungkin kelihatannya akan seperti orang angkuh.
Jika aku mengatakan pergi mungkin sebenarnya aku selalu ingin berada disamping mereka, karena itu hangat.
Begitulah alasan kenapa aku begini.
Aku bukan pencari muka yang ulung.
Tak pandai mengekspresikan rasa.

Biarlah kata-kata sindir muncul sebagai tanda bahwa aku benci, padahal sebaliknya.

Merindukanmu sebenarnya,
bukankah karena aku berada dilingkunganmu aku menjadi makhluk sesempurna ini?
bukankah karena aku belajar darimu aku menjadi seorang wanita yang sedikit pantas?
Ah mungkin ini mimpi.
Nyatanya kau tidak sungguh-sungguh ingin aku ada.
Nyatanya aku ini kan pengganggu.

Kenapa ini aku sebut rahasia?
Karna siapapun yang aku maskudkan disini, tidak akan pernah membuka tulisan tolol seperti ini. Pengakuan yang kumiliki sendiri.

Jumat kemarin aku tumpah.
bukan karna lelah menghabiskan hari tanpa memejamkan mata, lelah mempunyai perasaan, bahkan lelah menjadi orang baik.

kenapa aku tidak kembali saja ke masa itu?
Masa dimana ada banyak sekali orang yang dengan senang hati menjadi musuhku.
Masa dimana temanku adalah tawa membahana, masa dimana aku tidak bisa melihat kebaikan dan keburukan pada waktu yang bersamaan.

Jumat kemarin aku tumpah. Dan malu pastinya.
Aku lelah mempunyai perasaan. Berdiri di atas kesempurnaan yang sebenarnya membuka kelemahanku.
Aku lelah mencintai dan merindukan.
Aku yang sekali-kali ingin ditunggu, juga lelah menunggu.

Aku menanti musim hujan, tapi dianya tak kunjung datang.
Aku membuka dan yang lainnya menutup.
Bukannya skenario Tuhan menang di atas segala-galanya?
bahkan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya menyipitkan mataku seolah ada cahaya yang nyata menyala membuatku terpejam lebih lama.

Perut bagian kanan atasku sekarang sering sakit.
Tapi bukan itu masalahnya,

masalahnya adalah,
kita tidak pernah tau sampai dimana batas usia kita di dunia.

Jika aku begini dan kondisimu lebih baik, maka mohon doakanlah aku agar segera berpangku kesejahteraan yang aku idam-idamkan.

Jika engkau begitu dan kondisiku lebih baik, maka aku akan menikammu dengan banyak sekali doa dan kalimat harapan.

Jika kondisi kita sama-sama baik,
kenapa tidak aku mencoba dan engkau mencoba?

Banyak hal yang ingin aku bagi. Baik berita yang akan menarik senyummu lebih lebar lagi, atau pun berita yang akan membuat kita menangis bersama lagi.
Aku punya semuanya.

Atau, memang lebih baiknya seperti ini?

Bukannya sudah aku bilang, "Aku adalah apa yang paling kalian inginkan untuk menjadi".


Pikiranku kacau. Maaf kalau ini berlebihan. Tapi benar.

Kenapa wanita harus selalu memikirkan perasaan? Kecewa, benci, rindu, cinta, sakit dan bla bla bla

Bolehkah aku mengenang sesuatu yang menyenangkan saja??
Kenapa yang justru kuingat adalah kata-kata yang menyakitkan.

kenapa banyak sekali kenapa di muka bumi ini.
kenapa pada akhirnya semua seindah skenario Tuhan.
Tapi kenapa kita harus dibuat sakit dulu agar mengerti?????!!!


Ah capek!
Kalau seperti ini yang kau inginkan, akan kuturuti!
Aku ini apa untuk siapa?

Senin, 22 September 2014

Halaman Bersembunyi




Sudut

Garis tak terabai dan tak tergapai.
Jemari menyentuh lutut bibir seraya berkomat kamit. Ada apa lagi dalam sorot matamu yang dalam itu, selain ketidaktahuanku?

Sudut

Tanpa ada sepasang mata yang tahu. Biasanya aku kan di lantai paling atas. Kini aku mengabai, dan meletakkan kegusaran di sudut.
Tempat dimana banyak orang tidak tahu, mencari-cari sesuatu untuk ditemu.

Sayangnya disini hanya ada aku. Bukan kamu yang brutal dengan prinsipmu. Bukan mereka yang mengerti bahasa tubuhku, bukan pula dia yang pernah tenggelam dan kupaksa muncul dari kenangan.

Kalau saja aku lebih bisa diukur dengan ilmu, mungkin nilaiku setara dengan ratusan buku di ruangan ini. Memenuhi, berulang kali terabaikan, berulang kali dipertanyakan letakknya, dan berulang kali ditelusur. Tapi tak mudah ditemui, seperti buku-buku di perpustakaan ini.

Aku mengintip dari balik pesona tinta dan mereka yang menjatuhiku dengan isi. Aku tertarik karena banyak yang meminta bukan berarti aku selalu penuh harap karna yang menuliskanku bukan mereka yang selalu berilmu akan tetapi mereka yang selalu memberitahukanku sesuatu, mereka yang tak pernah diam melihat polahku. Mereka yang selalu ingin aku ditemukan, dengan segera.

Seperti catatan tipis dalam sela rak paling susah dijangkau mata, diraih tangan. Seperti kelabu yang menolak menjadi hitam, sekalipun putih adalah pilihan yang tak terbantahkan.

Menelaah tepi-tepi sampul, berharap aku menemukan judul sesuai dengan permintaan hati.
Banyak buku yang berteriak dan berbicara dari hati-ke hati. Mereka meminta untuk ku ambil. Akan tetapi curiga dan perasaan tak tenang melingkupi dasar jiwa dan anehnya aku mulai tak tahu harus memberi ketegasan macam apa. Aku kan takluk kalau aku tidak punya paduan.

Berhenti di titik ini. Mulailah mencari meski harus berulang kali menari dalam kehawairan yang kumiliki sendiri. Aku bukan makhluk sesempurna nabi, bukan pula makhluk sekecil semut. Aku bernabi dan aku berpandu pada tulisan yang telah disuratkan, aku tinggal tahu kapan akan menuju tangga kelangit. Bukan dengan buku-buku yang kutelan. Dengan halaman-halaman yang tercecer saking banyaknya orang yang memperebutkan sehingga buku itu mulai, rusak.


Minggu, 21 September 2014

Angin, Jalanan Malam, Lampu Kendaraan dan Lampu Kota Jogja





Berguru pada langit dan musim-musim kering jaman dulu. Kelak akan aku bertahu, kenapa mimik wajah yang rindu bisa menyimpan sejuta rahasia. Buat apa aku kembali kepada kenyamanan disana, jika yang aku lihat hanyalah nada-nada meninggi dan saling meneriaki. Buat apa?

Buat apa aku menjadi tulang jika yang dikehendaki Tuhan aku menjadi gelas kaca yang siap mereka pecahkan untuk melukai satu sama lain. Bisik-bisik menertawakanku dalam diam, aku sakit tak menghiraukan kata-kata Tuhan. Sebenarnya apa yang dunia inginkan? Segelas tawa? Secangkir kopi pahit? Secarik kemurkaan? Segenggam keabadian? Bias-bias senja tak lagi mengiringiku dalam bahagia. Bukan berarti aku orang yang tidak bahagia, hanya saja tabu memikirkan apa yang akan aku alami selanjutnya tanpa berbuat apa-apa. Aku terlalu sering mengigau dan mengagumi mimpi sampai aku lupa pada bayang-bayang yang kuinjak sendirian.

Jika kau letakkan di bawah, maka tempat orang adalah kesakitanmu. Jika kau letakkan di atas, maka tempat orang adalah kebahagiaanmu. Jika satu tambah satu samadengan dua, aku pernah membiarkannya beranak-pinak menjadi jawaban-jawaban indah lainnya. Otakku tidak berhenti di kata-kata yang jelas, dia hanya membantu mengeluarkan isi hati yang tidak karuan bentuknya ini. Demi sebuah pertanyaan kenapa.

Mendung sekali langit malam ini. Meskipun gelap, toh aku masih bisa merasakannya juga. Sama seperti Tuhan. Meskipun tak terlihat, toh aku masih bisa merasakan-Nya juga.
Sesekali aku menengok langit. Tapi tak ada yang lebih berarti daripada membayangkan wajahmu tenggelam di sana bersama kumpulan bintang-bintang yang berbinar. Oh Tuhan, September hendak berakhir tapi aku masih belum juga bisa melihat kunang-kunang yang ku kagumi.

Jalanan malam. Jalanan malam yang kubenci.
Aku seperti cacing yang kepanasan. Ini rindu atau ini benci. Aku cemburu dan aku perasa. Segalanya berbaur dan aku menyelami perasaan melalui syair yang aku teriakkan penuh-penuh dalam emosi saat berkendara membelah jalanan malam kota Jogja. Aku pusing memikirkan pertanyaan kenapa. Kenapa kenapa kenapa dan kenapa. Kenapa?

Aku senang melihat wajah mereka. Alasanku maju atau mati tak sempurna. Alasanku melaju atau diam tak berdaya. Aku senang mencium kedua tangan mereka, mengucapkan salam dan saling mendoakan satu sama lain. Aku anak dan mereka orang tua. Aku sayang dan mereka menyayangi. 

Aku betah dan mereka curiga aku lebih menyayangi mereka daripada diriku sendiri.
Biar malam tetap penuh cahaya.
Mana ada hal yang perlu ditakuti lagi? Mereka di sana bukannya selalu mendoakan yang terbaik?

Bisakan bicara tentang hal lain saja? Misalnya tentang pertanyaan kenapa itu tadi.
Kenapa?



Kuberitahukan sesuatu, banyak hal menuntuk untuk mengerti tapi banyak hal semakin membuat kita untuk mengerti. Tau kan? Alam kan selalu tak sejalan dengan pemikiran kita. Dan bukannya terang, gang panjang menuju tempat keluar semakin gelap saja.


Aku galau.


Pertanyaanku tak terjawab dan aku harus lebih sabar menunggu waktu?

Padahal waktu yang ditunggu semakin jauh meninggalkan.

Apa aku terlalu meninggi hingga harus selalu merendah dihadapan kekalutan?

Apa aku terlalu rendah hingga harus meninggi ketika bertemu kenyataan?

Sekarang tiba-tiba terlintas pemikiran konyol yang menelanjangi akal untuk mengatakan hal yang pertama kali aku pendam dalam kepada dia yang tak pernah mengerti asal usul perasaan ini, kenapa ada.

Apakah engkau yang ditunjuk Tuhan untuk merubah kondisi ini? ketakutanku?
Aku Jawa, aku begini dan aku seperti ini. Apa masuk akan jika engkau menaruh perasaan yang sama?
Jika saja bisa ingin aku muntahkan perasaan ini menjadi bentuk kasat mata. Dan kutunjukkan kepadamu betapa tidak berbentuknya hati, lidah dan pikiranku ketika mereka bertemu dan berbenturan dengan nama.....




Namamu. 

Jumat, 19 September 2014

Pemuda Mengakar


Gambar: kampusnews.com


 “....dalam hidup kita, semua datang sendirian dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar malam, di mana kita datang dan pergi bersama-sama....”-Pramoedya (dalam Bukan Pasar Malam).

Buruh Tani mahasiswa rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa Orba
Marilah kawan mari kita tunjukkan
Ditangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu, tentang pembebasan
Dibawah tanah tirani, kulukiskan garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi, bagiku satu langkah pasti
(“Buruh Tani”)

Sepenggal lagu yang siapa saja yang mengaku pemuda akan meninggalkan jejak kegalauan yang mendalam ketika mendengarkannya pun mengalunkannya. Sepenggal lagu yang siapa saja yang mengaku pemuda akan mencipta garis sesegera mungkin untuk memimpin ketertinggalan, mengeluarkan rakyat dalam kesengsaraan. Perih begitu melihat badan asing menginjak-injak kehormatan bangsa dengan memprovokasi pemuda sebagai alat kuasa.

Jauh di atas langit biru yang membentang, telah banyak tanda-tanda bahwa pemuda tertulis disana sebagai tongkat sakti dunia. Getar dan tegapnya dipertanyakan melalui gerakan-gerakan sederhana yang memberikan hasil yang luar biasa. Engkau sentil debu, engkau rubuhkan benteng. Engkau bersihkan kursi, engkau bernyenyak-nyenyak ria di atas kursi parlemen. Tidak ada hal muluk lain yang harus dikhawatirkan karna engkau adalah pembentuk kualitas hidup di dunia yang mengidamkan kebahagiaan yang sejati.

Penulis memang kadang irasional. Tidak menggunakan logika dalam menjelaskan sesuatu. Mereka terkesan asal-asalan, yang penting ngomong, caturan dan terlalu banyak bicara. Tapi tahukan bahwa kebanyakan oleh apa yang mereka tulis adalah apa yang mereka alami dan rasakan.
Gerakan memang tak semudah membalikkan badan. Kita bukan beruang yang mengalami hibernasi di musim dingin sehingga nama gerak kita dinamai gerak musiman. Kita bukan juga si cebol yang merindukan bulan. Kita tak pernah berharap kepada hal muluk akan tetapi memiliki keyakinan kepada cita-cita bangsa yang tinggi demi tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis memang bisanya caturan. Memikirkan hal-hal yang tinggi lalu menerbangkan impian, menghamburkannya melalui udara. Tapi asal tau, hasil tulisan adalah apa yang kita serap, alami dan rasakan. Tidak ada omong kosong yang sengaja kami tuang untuk provokasi.

Hijau sudah tidak nampak lagi di Bumi Indonesia.
Ladang yang mulanya nampak segar dijelajahi mata karena air sungainya mengalir sangat deras dan bening berganti dengan tanah coklat yang kering renyah diinjak semut-semut ahli berpetualang.
Hingar bingar kota, lampu pijar gedung-gedung pencakar langit menghiasi layaknya bintang-bintang kota yang menggantikan angkasa. Ribuan anak jalanan memacu keterlibatannya terhadap waktu dan batasan antara hidup dan mati. Ribuan orang tua mati nelangsa memikirkan anak cucu yang kurang ajar membagi waktu berharga mereka untuk narkoba, rokok, hura-hura, berfoya, nakal dan melakukan tindak kejahatan dalam bentuk apapun. Merusak citra. Merusak susu.

Mereka-mereka yang menantang munculnya kebenaran datang bersama dusta dan mengatasnamakan pemimpin sebagai hal layak untuk disalah-salahkan. Saling tunjuk siapa monyet binaan para penguasa. Siapa protokolir yang menggerakkan masa untuk isu yang murahan dan menghancurkan harkat martabat bangsa.

Ketika segala telah dihamparan mata. Nyata menyala-nyala, ketika itu..
Kemana para muda? Para pemuda?
Apa mereka sedang pergi belanja di pusat perbelanjaan paling besar dikota, membeli label asing untuk mereka kenakan sebagai mahkota, sebagai irisan kain penutup badan paling minim bahan dan mahal harga?
Apa mereka sedang menusuk bola billiyard untuk mereka jatuhkan di lubang meja panjang yang hitam kelam?
Apa mereka sedang mengagumi wanita-wanita tengah malam dan membeli mereka dengan beberapa botol anggur paling mahal?
Apa mereka pernah merasakan kelezatan ketela pohon yang direbus empuk sebagai santap malam paling istimewa?
Apa mereka pernah merasakan kasarnya telapak tangan ayah dan ibu mereka yang habis-habisan mencari uang untuk sekedar makan tiga kali sehari, untuk sekedar membayar uang sekolah yang makin lama makin mahal ini?


Tidak baik menuduh mangsa. Aku berbicara dengan diri sendiri. Jadi tidak usah ada yang tersinggung. 

Kamis, 18 September 2014

Mereka Jawa




Mereka-mereka adalah orang yang mengetahui dan bisa mengekspresikan kehidupan, mereka adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan yang mengetahui bahwa semua itu punya satu makna, dan hal itu sangat penting untuk memahami kehidupan pribadi seseorang. Mereka-mereka itulah orang-orang yang sering disebut dengan orang “Kejawen”.

Kebanyakan orang Jawa kental dengan mistisisme. Orang Jawa meyakini apa yang mereka alami di dunia ini adalah akibat dari hubungan alam dengan Tuhan. Orang yang bisa merasakan pertanda-pertanda dari alam hanyalah orang yang mau mempertajam hati untuk olah rasa, biasa disebut dengan kebatinan kejawen.

Orang Jawa terkenal dengan penalaran mistiknya, baik yang berupa primbon dan juga pitungan. Dalam cerita-cerita mitologi wayang terdapat falsafah hidup yang dalam, kebanyakan orang jawa menjalani masa sekarang berdasarkan pelajaran dari sejarah dalam cerita pewayangan, misalnya “Mahabarata”, “Bhagawat Giza”, Karno Gugur”, dan “Semar Boyong”.

Orang Jawa memegang teguh filsafat, “Jika manusia adalah sebab utama bagi kondisinya, maka moral dan perilaku spiritualnya harus diperhatikan”.

Dalam filsafat Jawa, ada tiga ungkapan penting yang harus dipegang teguh:
1.       Rame ing Gawe, mempunyai arti, melakukan perbuatan baik untuk kemaslahaan semua orang. Tidak ada orang yang dapat berdiri sendiri. Asas Gotong Royong. Filsafat ini terdapat dalam nilai Ekaprasetia Pancakarsa, alias Pancasila. Orang Jawa suka berkelompok, melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama dan menanggung penderitaan bersama-sama. Tradisi slametan, kenduri dan tahlilan, misalnya.
2.       Mamayu Hayuning Bawono,  mempunyai arti, menghiasi dunia. Manusia hidup tidak hanya sekedar mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri, akan tetapi peduli kepada kebahagiaan orang lain. Mereka memberi tanpa harap menerima. Bekerja giat dan memiliki etos kerja yang tinggi. Orang Jawa mempunyai jiwa pemimpin yang tangguh dan unggul. Meskipun tegas, kebanyakan orang Jawa adalah sosok yang lembut dan selalu menjaga perasaan orang-orang disekitarnya.
3.       Sepi ing Pamrih, memiliki arti, tidak mementingkan diri sendiri.
Poin pertamanya adalah RELA. Orang Jawa mudah sekali merelakan bahkan hal yang menyakitkan sekalipun. Mudah dikecewakan akan tetapi tidak mudah menaruh dendam.
Poin keduanya adalah MENERIMA. Kebiasaan saling memberi dan toleransi yang tinggi kepada orang lain adalah prinsip yang dipegang teguh masyarakat Jawa. Mereka senang sekali ketika bisa memberikan buah kepedulian kepada tetangga dekat, kerabat dan sanak saudaranya.
Poin ketiga, SELALU INGAT. Masyarakat Jawa susah sekali melupakan kebaikan orang lain. Mereka akan selalu mengingat dan membalasnya dengan kebaikan juga.
Poin keempat, RENDAH HATI. Masyarakat Jawa tidak suka menonjolkan kekayaannya. Sikap rendah hati adalah hal yang utama demi mencapai kehidupan yang rukun antar tetangga dan masyarakat.
Poin kelima, BERSAHAJA. Masyarakat Jawa menjunjung tinggi rasa gensi, malu dan subasita (aturan perilaku). Masyarakat Jawa memiliki sikap “alon-alon waton kelakon”. Bertindak tanpa terburu-terburu, akan tetapi menyelesaikan tugas dengan baik.
Poin keenam, PRIHATIN. Masyarakat Jawa memandang orang kaya bukan orang yang memiliki uang banyak lalu dihambur-hamburkan, akan tetapi orang kaya adalah orang yang pandai bersyukur dan mampu mengendalikan nafsunya untuk bersikap konsumtif.

Menurut masyarakat Jawa, Conscience memiliki arti suara hati, yang dapat diartikan sebagai kesadaran atas orang lain, atas penglihatan, komentar dan kritik yang mempengaruhi posisi seseorang dan penghargaan terhadap status seseorang.

Masyarakat Jawa juga meyakini adanya Ukum pinesthi. Yaitu, segala ciptaan harus menempuh garis yang sudah ditetapkan.
Disini dijelaskan, Peristiwa tidak terjadi secara kebetulan, akan tetapi merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam wujud “kebenaran”. Peristiwa baru merupakan persimpangan (co-inciding) yang berarti, bayang-bayang yang tak terhindarkan. Dari sinilah muncul tradisi pitungan.

“Manunggaling Kawula-Gusti”, memiliki makna, kemanunggalan antara hamba dengan Tuhan. Disini dijelaskan untuk mencapai ingsung sejati atau “aku yang sejati”.

Pada suatu sore, Rama mendengar percakapan yang sangat mendalam antara pemilik villa dengan penjaga villa.
Penjaga villa mengatakan:
“Hubungan kita adalah bukan hubungan”. “ Keadaanku adalah ketiadaanku”.
Pemilik villa mengernyitkan alisnya kemudian berkata: “Apa maksudmu?”
Penjaga villa mengatakan:
“Tidak ada maksud apa-apa, hidup sekedarnya, bahagia sebesarnya”
“Dan Mati???”
“Ialah kalau kita tak lagi punya gerak”
“Dan engkau tidak takut?”
“Justru yang paling tidak menakutkan”.

Percakapan sederhana yang mempunyai filosofi kehidupan yang tinggi dan mendalam. Buku karangan Pramoedya “Bukan Pasar Malam (1951)” dijelaskan, dalam hidup kita, semua datang sendirian dan akan mati sendirian. Hidup bukan pasar malam, di mana kita datang dan pergi bersama-sama.
Begitu pula dengan Kredo Rendra,

Kemarin dan esok
Adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan
Sama saja
Langit di luar
Langit di badan
Bersatu dalam jiwa


Oleh: Pipit Septiani (diambil dari, Buku “Mistisisme Jawa” karangan Niels Mulder).

Sabtu, 13 September 2014

Cinta Tak Selezat Roti Isi



Cinta tidak selezat roti isi keju, parutan coklat, margarin dan susu kental manis, tidak..
Cinta tidak semanis kurma nabi yang paling dicari dan termahsyur namanya..
Cinta tidak semenarik pelangi yang muncul selepas hujan berjatuhan basahi Bumi.. tidak..


Aku banyak bicara tentang garis, sedangkan yang harus kulihat adalah langit. Kalau saja dia adalah lautan salju, aku mau jatuh diatasnya dan berenang menemui singgasana Sang Maha.

Usiaku berkurang sebentar lagi.

Kalau saja bisa, aku akan melewati tanggal esok. Aku tidak begitu suka ulang tahun.
Karena aku selalu membawa segelas air rasa, ketika hari itu tiba.

Maafkan aku Allah, aku susah mengendalikan perasaan. Engkau lah Maha Tahu, aku berproses dari apa dan berapa lamanya. Sangat susah sekali ketika prinsip berbenturan dengan perasaan. Isi kepala berbenturan dengan maunya hati.

Aku harus gelap dulu, baru bersyukur ada cahaya.

Aku harus hidup dulu, baru bersyukur kenapa alasan untuk “ada” kini ada.

Aku memasang jarak ribuan kilometer. Jutaan bahkan.
Sebenarnya jarak tanah dengan injakan biru yang terpasang di atas tak begitu jauh. Hanya, udaralah yang menghalanginya hingga terlihat teramat sangat. Jauh.

Jika saja aku dapat membangun tangga kelangit, aku akan mengajakmu pergi bersama-sama. Mengalami udara bersama-sama.

Maafkan aku..

Karna aku mencintaimu, karena-Nya.
Aku sudah kutuk mataku jika saja masih melihat terlalu dalam kepadamu, tapi. Sialnya, ini seperti sudah biasa.
Aku sudah minta hatiku untuk tidak terlalu meluap ketika aku berada disampingmu, tapi. Sialnya, hampir-hampir melonjak nakal karena getarannya sudah tidak bisa aku kendalikan.
Aku tidak tahu kenapa isi kepalaku bisa sangat teratur ketika bayanganmu muncul sekilas.


Setiap orang menjadi manusia baru setelah 10 tahun kehidupannya setelah kelahiran. Aku kini manusia baru yang ke-2 setelah aku dilahirkan.
Dua puluh tahun lamanya aku menghirup udara di Bumi Indonesia ini. Dua puluh tahun lamanya seperti melakukan perjalanan mengitari Dunia di sisi yang lain, tapi pada nyatanya aku masih disini-sini saja.


Ayah, Ibu,

Aku, anakmu, sudah dewasa bukan?

Anakmu ini sedang berperang.

Melawan nafsu, mengendalikan perasaannya, 

menuju cita-citanya menjadi penulis yang membuat banyak orang menghargai kehidupan, menuju cita-citanya menjadi seorang konselor profesional, menuju cita-citanya menjadi istri dari seorang konselor profesional, menuju pribadi yang kaya aksi karna pengalaman organisasi, menjadi pribadi yang berguna untuk orang-orang yang mendiami hati dan didiami hatinya lewat doa.


Aku tidak peduli siapa mangsaku, dan siapa yang akan memangsaku,

Berdiri adalah pilihan,

Jika engkau tetap, engkau seperti berada dalam ujung sebuah jembatan panjang, bawahnya jurang, tiada cahaya yang nampak sedikitpun. Hanya ada nurani yang menuntun dan jiwa yang ketakutan untuk mengambil arah.

Berjalan maju adalah sebuah keharusan. Jika tidak ingin langkahmu mati dalam diam. Atau terpuruk dan dijauhi oleh waktu beserta kenangan masa lalumu.

Berjalan mundur adalah keheningan. Jika kau tidak melakukannya kau tidak pernah tau kau sampai di titik mana. Bagaimana engkau berproses dan kenapa langit memilihmu.
Kini 20 tahun aku bernapas dengan segala limpahan rahmat dan karunia-Mu,


Aku sungguh-sungguh bersedih atas berkurangnya usia.


Tapi aku bahagia Allah, aku menjadi lebih dekat dengan-Mu. 

Minggu, 31 Agustus 2014

Perantara Hati



Sebentar lagi formasi kelahiranku akan nampak benderang menerangi, dan memasang kilat-kilat cahya harapan yang selama ini bersembunyi di balik formasi lainnya.

Aku ketukkan berkali-kali ke dalam asa, hal murni yang kalut mengganggu tidurku. Aku tak bangga masih memimpikanmu. Bahkan jika saja dapat aku jilat tenggorokanku, akan aku makan perasaan-perasaan yang haus menyiksaku. Berbait-bait aku nyalakan disini. Lewat keluhan yang paling tidak engkau sukai. Jangankan remuk, hati ini seperti menjadi butiran debu, kembali ke asalnya lagi.

Kenali kelemahanku lebih, kau akan dapatkan aku sosok yang lebih dari apa yang engkau bayangkan. Jika saja aku tak mengenal Tuhan, aku akan menjadi aku yang tak berbentuk. Bukan lagi titik paling terang di formasi bulan kelahiranku nanti.

Setumpuk benci kini semakin menjadi rindu. Aku tidak tahu bedanya dulu dengan sekarang. Bolehkan jatuh cinta dengan orang yang sama sebanyak dua kali? Apa aku terlalu muluk mengharapkanmmu? Jadi yang engkau berik tanda relung kekosongan ini apa namanya? Jadi yang tiap hari membuatku muak dan rasanya ingin selalu muntah ini apa namanya?


Bukan hanya aku yang menginginkanmu, karna ini jelas. Harusnya kau juga tahu.
Bahkan aku berusaha untuk jatuh cinta pada orang lain, bukan pada seonggok kamu.
Ketakutan ini membentak seraya berteriak. Belum pasti dia yang aku jatuh cintai lebih baik dari sosokmu!!

Bukan hanya aku yang tiap kali mendengar sayup, menyematkan namamu dalam doa-doa sederhana.
Bahkan aku berusaha meyakinkan diri betapa Tuhan Maha Membuka Jalan. Tapi aku tak pernah tau, doa siapa yang akan dikabulkan.
Ketakutan ini mencerca seraya berteriak. Belum pasti apa yang engkau inginkan adalah yang terbaik bagimu!!!

Jadi, aku tak tahu harus bagaimana.
Mencari orang lain untuk aku jatuh cintai, tapi harus bersiap untu mengulang ini lagi, atau
Menunggumu.. meski kau memasang jarak, meski kau berulang kali mengingatkanku, perjalanan kita masih jauh.

Apa yang kau lamunkan akan menjadi suratanku, ingatlah angin, adalah perantara hati yang menyejukkan.
Berilah pertanda lebih banyak. Agar aku tahu, aku harus bagaimana!

Rabu, 20 Agustus 2014

Jejak-jejak



Beberapa kali menoleh kanan dan kiri
Seharusnya untuk kini dan seterusnya aku tak mengikuti jejak-jejak ini lagi
Nampak dari kejauhan seperti orang kebingungan
Aku yakin tampangku kini tak mudah dideskripsikan

Pasang jauh-jauh mata awas dari sinyal perbedaan kita. Kau nampak seperti kau yang kukenal. Anehnya aku tidak ingin lagi mengulang, memaut, mengatur, mencipta, menelusuri jejak-jejak seperti ini lagi. Kau tau? Jatuh cinta tidak mudah, bagiku, setidaknya mungkin bagimu juga.

Aku tidak mengenal asalmu dari atas kah dari bawah kah. Janjiku adalah janji Tuhan kepada semua-ua umat yang memasang batasan, bahkan batasan pada sebuah perasaan yang aneh nyalanya.
Aku tidak ingin sok religius atau terlihat alim dihadapanmu, tapi mintalah Tuhan mempertemukan kita agar kita jelas. Aku kadang lelah merasa sendirian berdoa, merasa sendirian berjuang. Seharusnya kau juga turut bersama bait-bait kesunyian yang menghambur-hamburkan keluhanku pada-Nya.

Perjalanan ini sungguh kunikmati. Sampai-sampai aku tak tahu lantas aku harus bagaimana menghindari pertanda? Apa aku harus membangun tangga kelangit untuk melihat cahaya? Ataukah aku harus membelakangi Matahari agar aku bisa melihat Pelangi? Bias cahaya yang menentramkan semua-ua manusia. Tapi jika tak siap menerima, pasti akan kesilauan juga.



Selasa, 12 Agustus 2014

Langit Berjarak dengan Bumi Berpijak






Hari ini aku menyadari sesuatu.

Waktu begitu cepat meninggalkan kita yang tidak mau momen segera berakhir. Waktu begitu angkuh dan tak sabar melaju hingga dia meninggalkan wajah-wajah kelelahan kita dan menjauh setiap detiknya.

Tik. Tak. Tik. Tak. Tik. Tak.

Denting, dentang jarum jam dinding menelusuh keji, merasuki otak yang tak karuan bentuknya ini. Aku selalu punya janji dengan-Mu ya Allah. Kita harus bertemu 5 waktu. Kau memberiku kelima waktu pribadi. Ketika aku sampai di satu waktu, aku ingin segera berlari ke waktu yang kedua. Begitu seterusnya hingga aku melewatkan lima waktu dan melalui hari-hari beratku.

Aku menyadari sesuatu..


Aku sibuk dengan dunia yang semakin buru-buru meninggalkanku. Usiaku 20, tahun ini. Menghitung hari, dan tepat di ulang tahunku yang ke-20 nanti, aku pasti akan bertanya-tanya, berapa sisa waktu yang kumiliki di dunia ini?

Tik. Tak. Tik. Tak. Tik. Tak.


Waktu berlari begitu cepat ketika udara segar seperti buru-buru ingin menelan.
Waktu berlalu begitu lambat ketika udara kotor seperti buru-buru menelantarkan.
Mesin seperti apa yang menggerakkan detik-detik jam sedunia dengan seragam, seirama dengan detak jantung?

Aku berada di ruang tunggu pasien, setelah seharian melihat sosok yang aku banggakan lemas tak berdaya.

Bagaimana bisa aku tahan dengan keadaan ini?

Baru saja Ibu sembuh dari sakitnya. Sekarang Ayah.




Asma.

Aku juga punya penyakit itu. Penyakit yang dibawa Ayah. Penderita Asma akan menurunkan penyakitnya kepada anak-anaknya. Dan ya. Aku mendapat itu dari Ayah.
Aku menemaninya menemui dokter. Dia berbaring di tempat tidur pasien dengan napas mengi. Dokter tanggap memasang alat bantu pernapasan. Hatiku dagdigdug luarbiasa. Aku menatap ke arah jam dinding yang suara detakannya jelas. Mengganggu. Dokter meminta Ayah dirujuk kerumah sakit. Tentu, Ayahku tak mau. Beliau memikirkan biayanya.

Kenapa aku merasakan detik yang begitu kuat menderma?

Dia kejam saat aku benar-benar merasa tidak ingin kehilangan.


Siapapun.



Aku memikirkan kenapa sehabis Ibu pasti Ayah? Kenapa sehabis Ayah pasti Ibu? Apa mereka begitu harus bersama? Bahkan dalam hal seperti ini?
Aku sadar mereka menua.
Aku tau mereka akan mati. Sama sepertiku.
Tapi aku tidak bisa menjamin, lebih dulu siapa diantara kami.
Aku ingin melihat mereka berdua hidup lebih lama. Sumpah mereka manusia terkuat yang pernah aku temui. Sungguh bukan karena mereka adalah orang tuaku.
Aku bukannya takut mati. Aku hanya takut kehilangan. Entah takut aku kehilangan atau takut kalian kehilangan.


Satu diantara kita pasti akan pergi lebih dulu. Dan yang bisa mempertemukan kita lagi adalah keabadian.

Kehidupan setelah kematian. Aku memanggilnya keabadian.

Aku tidak mau protes berapa dosa-dosa yang telah aku perbuat sejak aku dilahirkan. Aku tau aku dulu itu apa. Aku dulu itu siapa. Dan bagaimana aku berproses dengan sangat tidak mudah.

Jalan yang bukan hanya tersenggal-senggal tapi juga berbatu dan menukik tajam. Aku tidak tahu harus tetap dipersimpangan atau tentukan arah berdasarkan mata angin.
Aku belajar bertanya bilamana tersesat dijalan.

Satu dua orang tak memberiku arah yang tepat, hingga aku tercebur kedalam selokan yang menjijikan.

Aku berjarak dengan langit, bahkan bumi tempatku berpijak. Tapi tak satupun mereka menghardikku dengan cara menurunkan hukuman yang menurut beberapa orang mungkin akan menyakitkan. Aku dihukum dengan cara yang menurutku indah.

Aku sangat spontan menjawab takdir ketika dia memilihku untuk tetap berseteru dengan jarak langit dan bumi. Dan yang aku terima beribu juta kebaikan.

Betapa sakti anakmu ini Bu, Pak,

Banyak menoleh tapi tak banyak dilihat.

Banyak bersuara tapi hanya lewat tulisan.

Banyak didosa tapi punya cara kembali yang tepat.

Aku tidak tahu mau sampai kapan didunia yang hanya sementara ini.



Jika dari kalian ingin merasa akrab dengan waktu yang menolak untuk kembali pada sedetik yang ditinggalkan, maka..
Rasakanlah dentangnya..


Tik. Tak. Tik. Tak. Tik. Tak.


Bagaimana jika nantinya..

Cita-citaku hanya bisa aku peluk ketika aku telah—kembali?

Bagaimana jika nantinya..

Aku dan mereka tidak bisa bertemu di tempat yang semua orang ingin—menuju?
Entah karna aku yang tak pantas atau—aku tidak ingin mereka yang tidak pantas.

Murni menyusun batu-batu besar yang menghalangi jalan raya agar aku bisa membentengi diri dari serangan takdir tiba-tiba.. tapi aku tak bisa bertahan lebih lama dan bersekutu dengan detik bersyarat dalih-dalih keduniaan. Akhirnya aku rombak lagi dan benarkan seperti semula.


Lambat laun semua menjauh.

Detik menjauh. Hari semakin cepat.

Langit berkabut, gelap, dingin, Matahari kehabisan daya. Bulan menjauh beberapa senti 
dari Bumi. Bumi mengalami pemepatan ditengah hingga kutub Utara dan Selatan berdekatan.

Tau pertanda apa itu?

Dunia sudah dekat dengan hari akhir.


Bukan aku membicarakan kecemasanku pada mereka. Ini murni hal yang tidak aku rencanakan untuk dituliskan. Mengalir tiba-tiba dan menjengkelkan sekali karna pukul segini seharusnya aku telah mengistirahatkan seluruh tubuh.

Bukan juga aku membicarakan kebahagiaan yang selama ini orang-orang idamkan. Bahkan membayangkan saja aku telah merasa, bahkan apa yang selama ini berat untuk aku rasakan.

Bukan karna aku membicarakan langit dan bumi, dan bagaimana Tuhan memberikan jarak diantara keduanya. Karna banyak orang yang telah lebih dulu tahu, seberapa akrabnya dunia dan akhirat itu.

Bahkan aku selalu terbayang sangkakala malaikat yang tak disangka begitu dahsyatnya, sampai kita tak sadar kalau kita ternyata selama ini tinggal didalamnya.

Adab turun dengan hati getir dan gelak canda kini menjadi butir introspeksi.
Remang memburuku dalam diam dan renungan panjang menyangkupi.
Aku ambil saksi dalam tiap teriakan detik.
Gelora ini bukan tentan asa cinta benci dan perasaan lain yang meliputi.
Hanya satu alasan yang tak ingin aku jadikan alasan untuk terus dan kenapa tidak berhenti.



Mereka.

Ayah, Ibu. Aku menyayangimu. Sepenuh-ah

bahkan aku tidak tau sepenuh apa.

Selasa, 05 Agustus 2014

Gagal membuat Skenario

Satu bangunan dirubuhkan lagi.
Nyatanya kembang hanya indah di pandang~ tak manis rasanya. Lain seperti caraku melihatmu malam itu. Di gedung yang terus menerus menggelayuti awakku.

Begitu nampak seperti rembulan. Teduh ku pandang.. Remang cahayanya.
Hatiku membeku. Tentu saja. Saat itu..
Tapi ini adalah saat ini... Lain cerita.

Perhatikan sekeliling.
Ada berapa banyak orang yang hanyut dalam derasnya perasaan? Tak kalah Hujan, dia Deras. Perasaan Mendayu. Galau. Sampai-sampai kata cinta yang mampu mendeskripsikan segala itu tertahan di tenggorokan. Meminta untuk dikeluarkan-tapi tuannya tak mampu.
Duh
Kasian, kan?

Perhatikan sekeliling.
Apa bumi menolak ketika rintik hujan memukul-mukul tanah hingga meresap ke dalam inti?
Apa udara dapat menembus langit?

Ah kata-kata ini tak lagi penting

Untuk Aku.






Terang dan sehabis ini tidak akan ada apa-apa lagi.

Kasar dan tak perlu ditambah apa-apa lagi.

Seperti berjalan mendaki gunung tertinggi. Tanpa perbekalan. Tanpa segendul minuman.  

Jalannya menukik dan dehidrasi bukan berarti apa-apa lagi.

Seperti mengisap kaktus di gurun tandus. Tidak ada apa-apanya lagi.

Panas yang tak tanggung-tanggung menguliti habis seluruh tubuh.

Rasanya terik tak pernah berhenti mengitari.

Hadirmu mendelik. Terlalu sial tak siap aku untuk digampari.

Bayanganmu tak berbadan. Anehnya selalu dapat dengan jelas aku amati.
Bayanganku tenggelam dalam lamunan. Tak kosong, ini hasil pikir panjang.
Tak disangka ternyata yang selama ini aku genggam hanya tanah ompong.
Tak disangka ternyata yang selama ini aku junjung hanya omong kosong.

Pikir lagi,

Jatuh cinta dengan orang yang engkau kagumi? Yakin itu namanya cinta? Seperti kebanyakan orang yang sama-sama kagum dengan orang yang engkau jatuh cintai? Yakin itu namanya cinta? Atau hanya kagum?

Hah. Sia-sia.

Jangan-jangan ini hanya perasaan kekaguman? Jangan-jangan ini hanya perasaan suka biasa?
Yang mana yang rasanya cinta? Engkau sakit atau engkau terkagum-kagum dengan pesonanya. Kehilangan akal sehat??

AH mual aku. Lebih betah bicara angka daripada pusing karna huruf.

Ini bulan ke delapan. Ini tanggal ke lima. Ini tahun ke dua ribu empat belas. Ini semester ke lima.
Lebih mudah bicara angka kan?
Sedangkan yang tak aku mengerti tentang apa-apa membuatku harus mengenal tari-tari a-b-c-d—z.

Sakit ya sakit tapi itu kan bukan apa-apa.


Bagaimana jika..
Kita tidak bisa melihat surga.. bahkan mencium baunya??

Jadi jika yang selama ini aku pandangi adalah kenyataan yang mengharuskanku untuk berpaling darinya.. maka..

Ajari aku memeluknya disurga-Mu kelak.

Ajari aku untuk betah dengan rasa panas duniawi untuk mengejar surga- yang banyak orang damba-dambakan. Ajari aku untuk tahan dalam setiap dekap rindu, delik, desah, dera, duka, dahaga, duga, damba, derma, dakwa, dan detik yang menelan mentah-mentah keabadian.

Lagi,

Seperti berjalan diatas gurun pasir tandus, tanpa alas kaki. Tanpa perbekalan. Tanpa segendul air.
Teriknya menguliti.

Sungguh ini duniawi yang penuh fatamorgana.

Tanpa api disembur dari nyala bebatuan, tanpa suara-suara pekikan meminta untuk dihabisi sesegera mungkin, tanpa berita-berita tentang adanya kanan dan kiri, adanya Tuhan yang Maha dengan tuhan yang tiri, adanya kisah dan adanya kasih.. Tanpa berita-berita itu, maka

Kita dan bayangan yang menghujat kita akan bertingkah semaunya.

Mencintai semaunya.

Mengasihi semaunya.

Menyukai semaunya.

Memuji semaunya.

Memberi semaunya.

Memiliki semaunya.


Lain.

Jika kita punya telinga dan banyak mendengar tentang berita-berita yang dibukukan dalam AL-Quran., maka kita dan bayangan yang menghujat kita akan bertingkah seolah kita:

Mencintai semuanya.

Mengasihi semuanya.

Menyukai semuanya.

Memuji semuanya.

Memberi semuanya.

Memiliki semuanya.

Tak adil rasanya jika perasaan yang orang sebut cinta ini, seutuhnya kita berikan hanya untuk seorang manusia yang entah bisa mendengar melihat dan merasa atau—tidak.
Jika kita mencintai manusia, cintai semuanya. Jika kita mencintai semuanya, kita dicintai Tuhan. Jika kita dicintai Tuhan, maka Tuhan akan menuntun kita untuk menuju surga-Nya—yang dijanjikan. Jika kita memasuki surga-Nya maka, kita bebas memeluk dia yang selama ini hanya bisa kita rengkuh dalam sekejap mata.

Jadi, ada alasan lagi untuk patah hati??


Tidak.

Karna terik panas dunia hanya sementara. Sama seperti sakit hatimu yang hanya sementara.
Tidak ada alasan untuk cinta. Tidak ada alasan untuk tidak cinta. Tuhan mencipta hati dengan sungguh-sungguh, penuhi dengan ketulusan.. maka insyaAllah jalan cinta dan cita-cita kita akan mulus. Dengan syarat: 





Selalu mengaharapkan Ridha-Nya.

Ini nasihat untuk diri.